24 August 2022, 23:13 WIB

Wayang untuk Semua Usia


Media | Hiburan

MI/ Abdillah M Marzuqi
 MI/ Abdillah M Marzuqi
Gelaran wayang lintas media Rasa Rupa Bhisma

TIDAK mudah menyatukan semua unsur pertunjukan dalam satu panggung. Apalagi ditambah dengan masukan unsur lain yang notabene tidak senafas. Gelaran wayang lintas media Rasa Rupa Bhisma mencoba. Segenap insan kreatif pewayangan mencoba bersetia dengan pakem wayang, sekaligus mencoba mencari bentuk baru yang mampu menjadi jembatan agar wayang bisa dinikmati semua usia.

Itulah yang hendak dicapai oleh wayang lintas media Rasa Rupa Bhisma yang dipentaskan oleh Teater Wayang Indonesia (TWI) di Gedung Wayang Kautaman (21/8) dalam peringatan HUT ke-47 Sekretariat Nasional Wayang Indonesia (Sena Wangi).

Rasa Rupa Bhisma membuka babak pertama dengan tampilan latar panggung digital. Ada adegan film yang diputar. Kemudian muncul adegan panggung yang menyambung dengan adegan film. Tidak selang lama, kejutan masih ada. Gambar komik muncul dari latar digital, disertai narasi ciamik tentang karakter wayang. Sepanjang pentas, media ungkap silih berganti menghiasi panggung. Memang pentas itu ditujukan untuk bisa dinikmati semua usia. Penikmat sepuh bisa menikmati tampilan konvensional, yang muda bisa dengan koreografi kontemporer, sedangkan penonton anak bisa masuk dari komik.

"Karena kalau mau mewariskan wayang ke generasi mari kita sediakan format yang bisa diakses anak muda atau anak-anak, bisa komik, bisa kartun, atau animasi, bisa bacaan-bacaan sederhana yang itu kemudian diakses mereka, bisa menjadi bekal. Cara-cara yang lebih ramah tanpa harus semena-mena pada wayang. Kita tetap bersetia pada karakter, nilai, dan cerita," ujar Sutradara 1 Nanang Hape.

Pentas itu berupaya untuk mentransfer wayang yang dinilai tontonan berat nan jadul dalam format kekinian yang mampu menjangkau generasi muda, bahkan anak-anak. Rasa Rupa Bhisma berharap bisa menjadi jembatan dari generasi Z, millenial, dan sepuh. Kehadiran teknologi sangat terasa dalam pentas itu. Seni panggung mampu berbagi ruang dengan film, komik, dan seni gerak kontemporer.

"Jadi konvensional ada, konvensional garap juga ada, konvensional panggung yang kerakyatan juga muncul diletakkan di adegan-adegan tertentu. Tapi juga sekaligus mengakomodir kemampuan penari-penari muda sekarang dengan tawaran koreografi baru. Itu kemudian melompat lagi ke anak perkotaan yang mungkin kesulitan menikmati wayang. Bukan karena mereka tidak suka, mungkin mereka terkendala dengan media ungkap. Karena bahasa simbol, semiotika, karena berbeda maka perlu diantar, maka ada film. Anak-anak nyaman karena ada komik," tegasnya.

Pentas itu bercerita tentang kepahlawanan Bhisma yang bertekad merawat kesetiaan pada negeri Hastina. Demi tujuan luhur itu, ia rela melepas hak atas tahta dan bersumpah untuk tidak memiliki keturunan. Pada akhirnya, pilihan hidup itu membawanya pada dilema saat mendapati Hastina diambang perpecahan akibat perseteruan Pandawa dan Kurawa. Perselisihan yang diabadikan dalam Perang Baratayuda.

"Sebuah pilihan hidup, seorang Bisma begitu cinta dengan Hastina. Dia tidak ingin Hastina hancur. Tetapi secara sepihak dia memutuskan untuk tidak menjadi sarana kepenerusan wangsa Bharata. Keputusan itu tentu saja tidak akan mewadahi situasi yang ada di Hastina. Karena pikiran dia untuk berbuat baik belum tentu hasilnya baik dari apa yang dia niatkan," terang Sutradara 2 Agus Prasetyo.

Pentas itu mencatatkan dua nama sebagai produser, Eny Sulistyowati dan Retno Irawati. Eny mengungkapkan kesulitan terbesar dalam memproduksi wayang lintas media yakni menjadikan semua unsur senafas dan seirama.

"Proses ini berat luar biasa karena harus menjembatani dari film ke panggung kemudian balik lagi ke film. Kita tidak mau film, komik, dan panggung itu sebagai sebuah puzzle, tempel-tempelan yang serta-merta saja. Itu tidak akan bunyi, sehingga rumit sekali untuk misalnya menyelaraskan warna film dengan gradasi cahaya panggung," ujarnya.

Persiapan butuh waktu sekitar 3 bulan. Meski 1,5 bulan menjelang pentas, semua awak kreatif dituntut untuk mengenjot persiapan agar rampung sebelum pentas.

"Kurang lebih 3 bulan dari proses awal pencarian lokasi shooting, tapi proses ketatnya 1,5 bulan," lanjut Eny.

Patut diapresiasi upaya untuk membuat pentas yang bisa dinikmati semua ganerasi. Setiap penonton akan mempunyai kesan tersendiri tentang wayang ketika keluar dari ruang pertunjukan. Ibarat hidangan prasmanan, para tamu boleh menentukan sendiri jenis makanan sesuai usia dan cita rasa. (OL-8)

BERITA TERKAIT