SEPERTI tangan-tangan yang menggapai di pintu Kabah, begitulah perasaan jiwa ketika akhirnya bisa menatap Baitullah di akhir Juni lalu. Lemah, rindu, bahagia, dan penuh syukur tidak terhingga.
Meski tidak juga diri ini ikut meratap di dinding Kabah karena memang tidak sepatutnya, hati pun ikut merasa seperti mereka yang lunglai di sana. Maka tidak ada kelegaan lain untuk memuaskannya selain dengan khusyuk menjalankan setiap putaran tawaf.
Dalam tiap langkah berkeliling itu pula keihklasan dan ketulusan ibadah diuji silih berganti. Ada terik panas matahari dan impitan ratusan umat lainnya yang menyentil emosi maupun keteguhan.
Di sisi lain, wajah-wajah yang bersama larut dalam doa, memberi kekuatan dan peringatan akan kebesaran-Nya. Di Masjidil Haram inilah memang segala yang besar menjadi kecil dan segala keegoisan harus luruh dalam toleransi dan kebersamaan, sebab hanya dengan begitu pula sesungguhnya kenikmatan akan tereguk. Maka di tanah suci itu pun napas tentang dua dimensi hubungan yang selalu diutamakan dalam Islam terpampang dengan sejelasnya.
Bahwa tidaklah mungkin mencapai kedekatan Ilahi dengan keakuan. Ibadah bukan hanya nikmat ketika lantunan doa sendiri yang terdengar, melainkan juga karena berbagi saf di Hijr Ismail, berbagi sejuknya zamzam, bahkan berbagi sedikit ruang untuk merebahkan punggung di jeda waktu salat. Inilah yang membuat Tanah Suci justru makin dirindukan.