13 September 2023, 16:35 WIB

Inflasi Membuat Biaya Medis Meningkat


Fetry Wuryasti | Ekonomi

Freepik
 Freepik
Ilustrasi

BIAYA medis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dokter penyakit dalam di Rumah Sakit Premier Bintaro Ariska Sinaga menjelaskan penyebab peningkatan biaya medis salah satunya, yaitu inflasi biaya kesehatan.

Berdasarkan hasil survei dari medical trend summary Mercer Marsh Benefits dari tahun 2021 - 2023 menyebutkan inflasi medis di Indonesia meningkat 13,6% di tahun 2023 dari sebelumnya 12,3% di tahun 2022. Ini pun lebih tinggi dari rata-rata inflasi kesehatan di Asia yang 11,5%.

Ketika terjadi inflasi berbagai sektor, biaya pengobatan juga akan terpengaruh. Inflasi mempengaruhi bukan hanya biaya medis, tetapi juga biaya operasional, supply, administrasi dan fasilitas kesehatan.

Baca juga : Porsi Biaya Kesehatan yang Ditanggung Masyarakat Indonesia Lebih Tinggi Dibanding Malaysia dan Singapura

“Pada tahun 2022, inflasi kesehatan Indonesia sebesar 12,3%, dan menjadi 13,6% di 2023. Tahun tersebut masih tahun-tahun pandemi. Ini berbeda dibandingkan inflasi secara ekonomi yang sebesar 3,3%. Artinya inflasi kesehatan sekian kali lipat dari inflasi secara umum,” kata Ariska pada Allianz Indonesia Media Workshop 2023 – “Biaya Medis Naik Terus, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?”, Rabu (13/9).

Hal lain yang membuat biaya medis meningkat, yaitu minat konsumen mengunjungi klinik dan rumah sakit meningkat, terutama semenjak pandemi Covid-19 di Indonesia dinyatakan selesai.

Baca juga : Aktivitas Fisik Kunci Agar Bugar di Usia Tua

Selama pandemi kemarin juga banyak perubahan gaya hidup dari tidak bisa bebas bepergian, mengandalkan teknologi untuk memesan makanan, hingga kurang gerak dan tidak berolahraga dengan baik.

Penyakit yang ramai muncul selama pandemi pada akhirnya yaitu obesitas, penyakit metabolik. Masyarakat yang juga sebelumnya memiliki penyakit, menunda pengobatan selama pandemi. Akibatnya penundaan itu berdampak buruk terhadap penyakit yang diderita dan lebih banyak lagi komplikasinya.

“Ini berujung oada peningkatan biaya perawatan, dan durasi dirawat di rumah sakit,” kata Ariska.

 

Populasi Lansia

Hal lainnya yang meningkatkan biaya medis yaitu peningkatan prevalensi penyakit kronis atau jangka panjang di masyarakat yang pengobatannya butuh berkala hingga jangka panjang.

“Salah satu hal yang saya lihat, semakin banyak kasus penyakit degeneratif di usia yang lebih muda dari usia yang seharusnya, seperti darah tinggi atau diabetes, yang kini banyak timbul di kelompok usia 20 tahunan,” kata Ariska.

Penyebab kenaikan biaya medis lainnya yaitu populasi khusus lansia, yang berusia di atas 60 tahun, dan minimal umumnya mengidap minimal satu macam penyakit kronis, seperti diabetes, atau darah tinggi dan lainnya.

 

Kasus Diabetes Anak Muda Meningkat

Data American Diabetic Association, menyebut insiden anak muda berusia kurang dari 20 tahun, yang mengidap diabetes tipe dua yang disebabkan oleh resistansi insulin akibat gaya hidup tidak sehat, telah meningkat. Kemudian, untuk Asean, Vietnam dengan populasi yang lebih sedikit dari Indonesia juga mewakili data tersebut.

“Vietnam dengan populasi yang lebih sedikit dari Indonesia masuk dalam data tersebut, apalagi Indonesia dengan populasi yang berkali-kali lipat daripada Vietnam, tentu kemungkinan tingkat diabetes pada anak mudanya lebih tinggi,” kata Ariska.

Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kemenkes, terkait prevalensi hipertensi, menunjukkan bertambahnya umur, semakin banyak yang menderita hipertensi, dimulai dari usia 18 tahun dan tertama pada lansia usia 55 - 64 tahun (55%).


Tenaga Kesehatan Minim

Selain itu, penyebab biaya medis juga karena jumlah pasiennya yang banyak tidak sebanding dengan tenaga kesehatan yang tersedia. Data Kemenkes 2-23, rasio dokter dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 0,58 per 1000 penduduk. Rasio dokter spesialis 0,15 per 1000 penduduk. Padahal WHO sudah menetapkan standar ketersediaan dokter 1 dokter di antara 1000 penduduk.

“Ini adalah kenyataan bahwa yang butuh pelayanan banyak, tenaga kesehatannya tidak banyak. Jadi wajar permintaan banyak tapi yang bisa mengampu itu tidak banyak,” kata Ariska.

Selain itu yang bisa meningkatkan biaya itu adalah teknologi. Teknologi yang semakin canggih akan mempersingkat durasi operasi, meminimalkan risiko dengan teknik operasi yang terbaru, hingga mempercepat proses pemulihan pasien agar segera bisa aktif kembali.

“Apalagi kini ada robotic rurgery atau operasi dengan robot. Ini juga menyebabkan peningkatan biaya,” kata Ariska.


Gaji bulanan vs Inflasi

Perencana Keuangan Daya Uang Metta Anggriani menjelaskan tingkat penghasilan pada seseorang usia produktif diharapkan akan semakin naik, tetapi sewaktu-waktu penghasilan akan menurun karena usia tua usia pensiun.

“Usia produktif juga terbatas. Rata-rata kita mulai bekerja di usia 20-an - 56 tahun. Sehingga garis-garis penghasilannya naik kemudian menurun. Sementara biaya hidup semakin tua akan semakin meningkat, yaitu pada saat berkembang bersama keluarga,” kata Metta.

Dengan inflasi kesehatan sebesar 13,5% untuk tahun 2023 atau 4 kali lipat dibandingkan dengan inflasi umum yang sebesar 3,3%, ini tidak sebanding dengan kenaikan tingkat penghasilan.

Kenaikan tahunan rata-rata gaji bulanan pegawai di Indonesia ternyata hanya 1,8%, atau tidak bisa mengikuti inflasi umum dan inflasi kesehatan. Sehingga masyarakat harus benar-benar menjaga kesehatan.

Data BPJS tahun 2019 menyebut bahwa masyarakat yang kesehatannya dilindungi BPJS baru sebesar 3%, sisanya memperoleh asuransi dari tempat kerja yaitu 16%. Sementara sebesar 61% masih berasal dari biaya sendiri.

 

Lakukan manajemen risiko

Untuk mengelola kesehatan dengan baik, caranya pertama dengan melakukan manajemen risiko. Risiko kehidupan antara lain kematian, sakit yang bisa terjadi kapan saja dan ke siapa saja. Risiko lainnya seperti kecelakaan ini tergantung dari aktivitas, kemudian risiko musibah alam, dan risiko keuangan karena PHK.

Beberapa mitigasi risiko yang bisa dilakukan pertama dengan kegiatan yang preventif, mengelola gaya hidup sehat secara fisik, mental.

Selanjutnya lakukan deteksi, yaitu medical check up dan finansial check up. Selanjutnya tidakan korektif yang memang ada biayanya.

“Ini yang harus dimitigasi dengan memiliki tabungan kesehatan, dana darurat, atau jaminan kesehatan asuransi pemerintah ataupun swasta,” kata Metta.

 

Jangan paksakan premi asuransi

Untuk besaran anggaran yang harus dimiliki untuk membeli asuransi swasta, dia katakan disesuaikan dengan kemampuan atau penghasilan. Dia memporsikannya sebesar 5% – 10% dari penghasilan.

Sebab masyarakat juga masih diupayakan menyisihkan sekitar 10% untuk tabungan dan dana darurat, dan 80% untuk kehidupan, baik pengeluaran inti berupa cicilan, maupun biaya kehidupan lainnya.

“Saran saya memang secukupnya. Jangan terlalu memaksakan premi asuransi yang harus dibayarkan berkelanjutan. Pilih yang sesuai kita mampu bayar,” kata Metta.

Ketika masih single, kata Metta, idealnya pengelolaan keuangan dilakukan dengan format 50:30:20 yaitu mengalokasikan 50 persen penghasilan untuk membeli bahan makanan, alat mandi, biaya listrik, pulsa, obat-obatan, biaya transportasi, asuransi, dan sebagainya.

Kemudian alokasikan 30 persen gaji untuk kebutuhan hiburan atau hal-hal yang diinginkan, seperti langganan layanan streaming film, jalan-jalan, staycation, belanja, dan sebagainya. Sisanya, alokasikan 20 persen pendapatan untuk tabungan dan investasi.

"Namun memang komposisi ini mungkin berubah seiring kebutuhan individu, kata Metta.

 

Teliti Memilih Asuransi

Chief Product Officer Allianz Life Himawan Purnama mengatakan dari sudut pandang asuransi, semenjak pandemi, tampak ada kesadaran masyarakat akan proteksi kesehatan.

"Terlihat industri asuransi klaim kesehatan di asuransi jiwa ini meningkat cukup pesat, pada 2023 peningkatannya mencapai sekitar 35%. Untuk kesehatan perorangan ataupun kumpulan bisa mencapai Rp9,39 triliun. Ini nilai yang besar," kata Himawan.

Ini bisa diartikan masyarakat bisa melihat komitmen dari perusahaan asuransi untuk memberikan pelayanan untuk memberi juga ketenangan nasabah.

Tapi di sisi lain, juga memperlihatkan masih banyak masyarakat yang membayar biaya kesehatan belum melalui asuransi, tetapi dari kantong sendiri.

"Kami percaya asuransi kesehatan itu penting dalam agar masyarakat Indonesia mempersiapkan diri jika terjadi resiko sakit, artinya mereka menjaga hidupnya," kata Himawan.

Untuk itu dia menyarankan masyarakat memilih dengan teliti akan produk asuransi. Sebab semakin usia bertambah tentu ketentuan-ketentuan polis dan klaim akan semakin panjang, terutama terkait historis kesehatan calon nasabah.

"Asuransi kesehatan jangan dibayangkan seperti kartu kredit yang bisa langsung dipakai. Ada ketentuan-ketentuannya, ada juga yang tidak yang tidak akan dibayarkan atau dicover asuransi biasanya terkait medis diagnostik dan estetik," kata Himawan. (Z-4)

 

BERITA TERKAIT