24 August 2023, 18:41 WIB

ICDX Mengajukan Diri untuk Jadi Penyelenggara Bursa Karbon


Fetry Wuryasti | Ekonomi

MI/Haryanto Mega
 MI/Haryanto Mega
Sejumlah relawan tengah menanam mangrove.

SETELAH Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan kesiapan untuk menjadi penyelenggara bursa karbon, pasca terbitnya Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon, kini Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) juga menyatakan siap diri untuk menjadi SRO bagi perdagangan karbon.

CEO ICDX Megain Widjaja mengatakan perusahaan telah mempersiapkan sejak tiga tahun lalu untuk pasar bursa karbon, dan menjadi kesempatan ketika OJK membuka peluang bagi semua partisipan yang merasa sanggup menyelenggarakan dan mengelola Bursa Karbon. Saat ini perusahaan menunggu turunan surat edaran OJK sebelum mereka mendaftar ke OJK.

“Kami sifatnya menunggu dahulu sampai kejelasan aturannya seperti apa, baru kami mengajukan,” kata Megain dalam Lunch with CEO mengenai Climate Instruments, di Jakarta, Kamis (24/8).

Baca juga: Airlangga Sebut BEI Bakal Jadi Penyelenggara Bursa Karbon

Perusahaan mengaku all out untuk pasar karbon ini karena memiliki kerinduan untuk memberikan sebuah infrastruktur perdagangan untuk Indonesia. Menurut mereka, masa depan Indoensia adalah karbon kredit sebagai net producer.

Terkait syarat penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp100 miliar, tanpa berasal dari pinjaman, Megain mengatakan ICDX akan berkolaborasi mengundang pelaku pasar dan institusi untuk bersama-sama dalam pemenuhan modal tersebut.

Baca juga: Pendorong IHSG Semester II-2023 akan Berasal dari Sektor Perbankan dan Konsumer

Namun perusahaan telah menyiapkan bukti dari konsep dari kerangka gagasan bursa karbon, melalui anak perusahaan yaitu Indonesia Climate Exchange (ICX). Karbon, kata dia, hanya sebagian daripada mitigasi risiko daripada perubahan iklim. Sehingga ICX diharapkan dapat menjadi payung yang bersifat lebih umum dan inklusif terhadap instrumen-instrumen iklim yang baru.

“Di luar negeri sudah banyak instrumen iklim yang dapat menjadi benchmark, yang tinggal kami amati, tiru dan modifikasi dan menjadi bekal ke depan,” kata Megain.

ICDX sudah memiliki kerangka model perdagangan bursa karbon melalui ICX dengan pilot percontohan Sertifikat Energi Terbarukan atau Renewable Energy Certificates (RECs) sebagai instrumen berbasis pasar iklim.

Megain mengatakan RECs ini merupakan bisnis model yang sudah terjadi di beberapa negara seperti Amerika Utara, Eropa, Australia, Tiongkok, dan Selandia Baru. Indonesia telah menerapkan pasar RECs sukarela namun belum menciptakan pasar RECs yang wajib.

“RECs ini kemungkinan dapat menjadi salah satu bentuk instrumen iklim menuju karbol netral dan dekarbonisasi,” kata Megain.

Dalam pengoperasiannya, ICDX bekerja sama dengan startup teknologi untuk menghitung jejak emisi yang dihasilkan, untuk kemudian diperjualbelikan. Mereka menggunakan menggunakan IoT untuk membawa transparansi ke publik, menunjukan validitas emisi pada konsensi-konsensi proyek.

“Hal ini untuk menciptakan demokratisasi pasar bagi pelaku pasar untuk melakukan dekarbonisasi,” kata Megain.

Meski demikian Sertifikat Energi Terbarukan (RECs) ini belum masuk pada Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon), yang baru memasukan poin pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan cap and trade atau persetujuan teknis batas atas emisi. ICDX berharap dalam pengembangan regulasi, instrumen sertifikat energi terbarukan bisa dimasukan ke dalam POJK selanjutnya.

Dia katakan demokrasi di pasar harus dijaga, agar jangan sampai regulasi berakibat kurang ideal terhadap inovasi. ICDX berharap ini menjadi masukan bagi regulator untuk melihat pasar yang lebih besar lagi.

Baca juga: Aktivis: Sanksi bagi Pabrik Penyumbang Emisi Jangan Cuma Gertak Sambal

 

Pentingnya Pasar Karbon

Lebih jauh Megain mengatakan pentingnya keberadaan pasar karbon agar perusahaan juga memiliki studi kelayakan untuk membuat rencana bisnis atas perdagangan karbon di wilayah proyek yang mereka bangun.

Sehingga perusahaan penghasil emisi karbon bisa mengajukan pinjaman dari perbankan bila memiliki ukuran harga komoditas karbonnya sebagai financial forecast atau perkiraan keuangan dan pendapatannya.

Sehingga proyek-proyek yang menghasilkan emisi di Kalimantan, misalnya, ketika menjual karbon kreditnya di pasar telah memiliki ukuran harganya. Sehingga peers atau pelaku pasar lain telah memiliki benchmark harga yang dibentuk oleh pasar.

“Transparansi mekanisme pasar karbon menjadi sangat penting untuk market dan harus jelas. Harga karbon kredit di market yang ada di market perdagangannya diperjual belikan melalui instrumen,” kata Megain.

Namun memang harganya baru bisa terbentuk bila ada empiris, dengan kata lain harus terjadi transaksi terlebih dahulu. Pemetaan harga penjualan tidak bisa berpatokan dengan harga yang terjadi di luar negeri.

Sementara itu, harga karbon kredit yang terjadi di market luar negeri terfragmentasi karena diperdagangkan lebih ke antar dua entitas. Sedangkan bila melalui bursa karbon terjadi bid offer harga mekanisme pasar yang transparan.

Menurut Megain, ada mazhab untuk harga karbon, yaitu nature base solution, dimana karbon kredit yang underlyingnya adalah alam. Ada dua klasifikasinya, pertama bagi perusahaan yang melakukan pencegahan deforestasi, harga karbonnya masih sekitar US$ 8 - 10 per ton.

Tetapi bila perusahaan memiliki proyek reforestasi, maka harga emisi karbon yang dia jual bisa sebesar US$ 20 – 40 per ton.

“Harapannya ada demokratisasi dari informasi ini. Sehingga pasar mengetahui price discovery dan benchmark harga sehingga proyek-proyek yang akan datang semua punya validasi terhadap harga,” kata Megain.

Untuk mengatasi berbagai fraksi yang terjadi di pasar dan menciptakan mekanisme pasar karbon yang transparan, ada tiga hal yang penting diwujudkan untuk meyakinkan pasar.

Pertama, kejelasan dan kepastian peraturan. Dari hasil komunikasi dengan pelaku pasar global, dia katakan pelaku pasar khawatir dengan kerangka peraturan bursa karbon di Indonesia. Kedua, kebijakan iklim di Indonesia yang masih lemah.

“Kebijakan iklim merupakan indikasi seberapa serius Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi melalui melalui pasar karbon,” kata Megain.

Ketiga, keseimbangan untuk menghitung dampak daripada pajak karbon dan harga karbon, yang harus ada harmonisasi. Bila harga carbon tax terlalu rendah, dikhawatirkan harga karbonnya tidak bisa bergerak naik dan menghilangkan potensi perdagangan karbon.

“Ketiga hal tersebut yang akan menentukan market menjadi solid atau tidak," tandasnya.

Baca juga: TransJakarta: Angkutan Umum Bisa Reduksi Emisi Karbon hingga 94%

 

Krisis Iklim Lebih Besar daripada Krisis Keuangan

Dia katakan setiap masyarakat luas, industri dan institusi memiliki tanggung jawab bersama untuk menangani krisis iklim. Kriteria krisis iklim yaitu pengaturan daripada suhu bumi yang diukur ketika pra revolusi industri, yang dianggap suhu ideal dari bumi.

Dengan berkembang banyaknya manusia dan industri, suhu bumi merangkak naik. Sehingga titik krisis adalah 1,5 derajat celcius penambahan dari baseline yaitu pra revolusi industri. Ketika kenaikan suhu itu tercapai, krisis iklim berkelanjutan terjadi. Setiap kenaikan suhu bumi terbukti semakin besarnya bencana alam.

“Implikasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celcius akan berpengaruh bencana alam, merusak infrastruktur yang manusia telah bangun, menciptakan kekeringan ekstrm dan mengancam kerusakan sumber pangan. Sehingga krisis alam lebih besar dari krisis keuangan,” kata Megain. (Try/Z-7)

BERITA TERKAIT