28 March 2023, 11:12 WIB

Rantai Pasok Daging Sapi nasional Harus Dibenahi


M. Ilham Ramadhan Avisena | Ekonomi

MI/Rendy Ferdiansyah
 MI/Rendy Ferdiansyah
Para pedagang menjajakkan daging sapi di Pasar Kite, Sungailiat, Bangka Belitung

Harga daging sapi yang melonjak tinggi menunjukkan pentingnya upaya pembenahan rantai distribusi dan logistik dari komoditas pangan tersebut.

 

Selama ini, panjangnya rantai pasok memunculkan banyak biaya tambahan hingga membuat harga jual akhir di tingkat konsumen melambung tinggi.

"Kenaikan harga logistik dan transportasi berdampak signifikan terhadap kenaikan harga modal produksi daging sapi di tingkat produsen. Belum lagi adanya kebijakan eksternal yang turut berdampak, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak," ujar Board Members Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Risti Permani melalui keterangan resmi, Selasa (28/3).

Baca juga: Pemprov DKI Jakarta Pastikan Stok Daging Sapi dan Ayam Aman Hingga Lebaran

Ia mengatakan, di awal 2023, harga sapi bakalan dari Australia memang mulai stabil. Itu disebabkan iklim yang mendukung hingga membuat stok melimpah.

Sayangnya, harga yang bagus di Australia tetap akan menjadi mahal Ketika sampai di tangan konsumen. Pasalnya, model bisnis yang dilakukan para pelaku usaha sekarang saat ini terlalu panjang dan memakan biaya tinggi.

Baca juga: Harga Kebutuhan Pokok di Semarang Masih Tinggi

Ia menjelaskan bahwa importir yang mendatangkan sapi bakalan harus melakukan penggemukkan sapi-sapi dan pemotongan di Tanah Air. Setelah melalui proses itu, mereka menjual daging yang dihasilkan ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH).

Proses berlanjut dengan menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Mereka lah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen.

Proses panjang itu menurut Risti menimbulkan biaya tambahan yang begitu besar.

Langkah pemerintah untuk mengimpor daging dari negara selain Australia, termasuk daging sapi dari Brazil dan daging kerbau dari India, juga dianggap masih belum bisa sepenuhnya menurunkan harga di pasar.

"Secara umum, pandemi memunculkan penambahan biaya transportasi dan juga penyimpanan. Ditambah dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang membuat ongkos transportasi antar daerah menjadi semakin tinggi," terang Risti.

Pandemi covid-19 diakui menimbulkan disrupsi pada sektor pertanian di seluruh dunia. Implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial mempengaruhi kinerja sektor pertanian. Penurunan kapasitas produksi dan pengolahan menyebabkan suplai berkurang.

Misal, kenaikan harga daging sapi yang terjadi di 2021, salah satunya, disebabkan oleh harga sapi dari Australia juga sudah menanjak sejak akhir 2020, karena peternak Australia berusaha membangun kembali peternakannya (herd rebuilding) setelah terdampak kekeringan di tahun 2019 ditambah dengan tingginya biaya distribusi akibat penurunan kapasitas logistik selama pandemi covid-19.

Risti menambahkan, fluktuasi harga pangan tentunya merupakan hal yang biasa karena perdagangan pangan tidak lepas dari dinamika pasar berdasarkan produksi, distribusi, dan permintaan. Pada periode Ramadan dan Idul Fitri, jumlah permintaan biasanya akan meningkat dan hal itu perlu diikuti dengan kecukupan pasok sebagai bentuk antisipasi.

Oleh karena itu, Risti menyebut sangat penting untuk memastikan ketersediaan daging sapi untuk konsumsi domestik cukup untuk sepanjang 2023. Produksi domestik bisa ditingkatkan dengan mengembangkan sistem produksi dan distribusi daging sapi agar dapat mencapai produktivitas yang optimal guna mengantisipasi lonjakan harga di pasar internasional.

Salah satunya dengan memodernisasi sektor peternakan Indonesia dan meningkatkan kapasitas peternak lokal. Indonesia juga dapat membuka diri terhadap investasi untuk memajukan sektor peternakan.

"Kedepannya, Indonesia dapat memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi untuk mendiversifikasi sumber pangan dan memperkuat resiliensi sistem pangan Indonesia dengan terus memastikan faktor-faktor penting seperti keamanan pangan (food safety) dan resiko biosekuriti," tandas Risti. (Z-11)

BERITA TERKAIT