01 October 2022, 17:28 WIB

Lima Faktor Pendorong Pelambatan Ekonomi Dunia Tahun Depan


M. Ilham Ramadhan Avisena | Ekonomi

MI/SUSANTO
 MI/SUSANTO
 Logo Bank Indonesia

DIREKTUR Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Wahyu Agung Nugroho mengatakan, pertumbuhan ekonomi global diprediksi akan melambat tahun depan. Ini sejalan dengan berbagai prakiraan yang mengatakan bahwa resesi dunia menjadi ancaman paling nyata di 2023.

BI memproyeksikan ekonomi dunia hanya akan tumbuh 2,9% di tahun depan. Angka itu jauh lebih rendah dari prakiraan pertumbuhan tahun ini di level 6,1%. Berdasarkan penilaian bank sentraI, terdapat lima faktor yang menyebabkan jatuhnya perekonomian tahun depan.

Perang Rusia dan Ukraina yang diprediksi bakal terus berlanjut menjadi faktor utama melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia. Konflik itu menyebabkan munculnya sanksi perdagangan dan mengganggu perbaikan rantai pasok dunia pascacovid-19.

"Ada sanksi dan retaliasi, perbaikan rantai pasok menjadi terganggu. Penutupan Laut Baltik itu mengganggu dan mendorong penurunan perdagangan dunia," kata Wahyu saat memberikan pelatihan di Bali, Sabtu (1/10).

Faktor kedua, yakni tren proteksionisme sejumlah negara terhadap barang-barang dari dan ke Rusia. Ini akan menimbulkan gangguan berupa terbatasnya pemenuhan kebutuhan seperti komoditas energi dan pangan untuk negara-negara Eropa.

Proteksionisme itu juga menyebabkan banyak negara mengambil langkah untuk menahan barang-barangnya demi menjaga kebutuhan nasional. Setidaknya, sejauh ini terdapat 34 hingga 35 negara memilih untuk mengurangi atau bahkan berhenti sama sekali melakukan kegiatan ekspor.

"Ini juga berdampak pada turunnya perdagangan dunia, dan meningkatnya harga pangan. India, misalnya, baru-baru ini mulai menerapkan proteksionisme untuk ekspor beras," kata Wahyu.

Baca juga: Ekonomi Kuat, Pertumbuhan Triwulan III Diyakini Capai 5,5%

Faktor ketiga, yakni berkenaan dengan kebijakan zero covid di Tiongkok. Kebijakan ini, kata Wahyu, akan berimplikasi terhadap negara-negara mitra dagang negeri Tirai Bambu. Sebab, langkah kuncitara di sejumlah wilayah otomatis berakibat pula pada terhentinya aktivitas ekonomi dan kegiatan produksi.

Dus, suka tidak suka, pelambatan ekonomi Tiongkok juga akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi dunia. "Tiongkok ini merupakan suplier utama berbagai negara di dunia, suka tidak suka, begitu ekonomi dia (Tiongkok) melambat, ini akan berdampak pada negara lain," terang Wahyu.

Faktor keempat ialah terkait dengan fenomena perubahan iklim. Peristiwa gelombang panas di Eropa, Amerika Serikat, sebagian wilayah Tiongkok, misalnya, memberi dampak pada penurunan produktivitas pangan dan pendistribusian energi.

Hal itu berimbas pada aktivitas produksi industri di masing-masing negara terdampak gelombang panas. "Perubahan iklim ini perlu kita sikapi secara serius. Karena dugaan kami heat wave ini bukan yang terakhir. Risiko kita mengalami heart wave berkelanjutan itu ada. Dampaknya tidak pada ekonomi saja, tapi juga pada inflasi," jelas Wahyu.

Faktor kelima, yakni respons kebijakan moneter agresif seperti yang dilakukan oleh The Federal Reserve (The Fed). Langkah itu dinilai bakal mendorong perekonomian Negeri Paman Sam ke arah penurunan. Akibat kebijakan itu, pertumbuhan konsumsi masyarkat bakal melemah, biaya ekonomi semakin tinggi, dan menurunkan produktivitas industri manufaktur.

Langkah The Fed yang menaikan suku bunga secara agresif juga dipandang BI akan diikuti oleh sejumlah negara lain. "Negara lain yang sedang kami pantau adalah Eropa, walau dia menyusul, tidak secepat AS, ke depan dia akan terus agresif, alasannya mengendalikan inflasi dan khususnya ekspektasi inflasi, ini yang coba dilakukan oleh mereka," pungkas Wahyu. (OL-4)

BERITA TERKAIT