PERSOALAN data dan penyaluran bantuan sosial dinilai masih menjadi momok dalam ragam program perlindungan sosial yang dijalankan pemerintah. Untuk itu, pengambil kebijakan diharapkan mampu terus memperbaiki dua isu menahun tersebut.
Demikian disampaikan Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Robert Na Endi Jaweng dalam diskusi publik bertajuk Kebijakan Pemerintah Pasca Kenaikan Harga BBM pada Sektor Perlindungan Sosial dan Ketenagakerjaan secara daring, Kamis (8/9).
Baca juga: Seni Melepaskan dan Fesyen Berkelanjutan
"Isu yang menyangkut bansos, utamanya Bantuan Langsung Tunai (BLT), tantangannya itu masih ada pada soal data dan distribusi," tuturnya.
Robert menyatakan, pemerintah memang telah berupaya memadankan data penerima manfaat bansos dalam beberapa waktu terakhir. Hanya, upaya itu belum mampu mendorong akurasi program ke level yang jauh lebih baik.
Pemutakhiran data sedari hulu diharapkan bisa dilakukan oleh pengambil kebijakan agar sejumlah bansos yang diberikan dapat betul-betul dirasakan manfaatnya. Upaya perbaikan juga diarahkan kepada pemerintah daerah sebagai pihak yang dinilai berperan penting terkait pemadanan data.
Pasalnya, kata Robert, Undang Undang 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin memberikan kewenangan pada pemda untuk mengusulkan penambahan maupun pengurangan jumlah penduduk miskin. "Kita berharap pemda bisa siap, sehingga penyaluran BLT ini bisa berbasis pada data yang valid dan terbaru," tutur Robert.
Selan itu, lanjut dia, ORI turut mendorong kecepatan distribusi bantuan sosial yang dijalankan pemerintah, utamanya terkait dengan pengalihan subsidi BBM ke perlindungan sosial. Sebab, naiknya harga bensin itu dikhawatirkan turut mengerek sejumlah harga barang-barang lainnya dan akan mempengaruhi daya beli masyarakat.
Sementara itu, Kepala Pemeriksaan Laporan Keasistenan Utama VI ORI Ahmad Sobirin memberikan masukan agar penyaluran BLT maupun bansos lainnya juga memerlukan afirmasi terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Itu dapat dilakukan dengan memberikan kategori penerima manfaat yang lebih terperinci agar efektivitas penyaluran dapat diukur dengan baik. "Distribusi perlu afirmasi degan kategori tertentu seperi disabilitas, manula, dan masyarakat yang hidup di 3T (tertinggal, terdepan, terluar)," kata Sobirin.
Pemerintah juga didorong untuk bisa memastikan efisiensi dan efektivitas penyaluran bansos. Jangan sampai, ongkos yang harus dikeluarkan penerima manfaat sama besar, atau bahkan jauh lebih besar dari jumlah bantuan yang diterima.
Di kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat menyatakan, penyaluran atau pendistribusian BLT dalam rangka pengalihan subsidi BBM ini dilakukan dengan menggunakan jasa PT Pos Indonesia. Sebab, perusahaan BUMN itu memiliki jangkauan yang lebih luas dan fleksibel ketimbang perbankan.
"Pemberian BLT ini dilakukan PT Pos juga dengan door to door. Diharapkan masyarakat penerima manfaat yang ada kendala atau sedang sakit itu tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk menerima bantuan ini," kata dia.
Hingga 6 September 2022, dana BLT yang telah disalurkan Kemensos kepada PT Pos Indonesia tercatat Rp1,79 triliun, dengan penyaluran yang telah mencakup 445 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan per 7 September, sebanyak 83.608 keluarga penerima manfaat (KPM) telah menerima BLT tersebut.
Adapun anggaran yang disediakan pemerintah untuk BLT tersebut mencapai Rp12,96 triliun untuk 20,65 juta KPM. Setiap KPM akan mendapatkan total bantuan Rp600 ribu hingga Desember 2022 yang dibayarkan sebanyak dua kali masing-masing Rp300 ribu setiap pembayaran. (OL-6)