BPJS Watch menilai adanya sistem kelas rawat inap standar (KRIS) akan memberatkan rumah sakit. Pasalnya, saat ini banyak rumah sakit yang masih berjuang untuk memulihkan kondisi keuangannya pascapandemi covid-19.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan, pemerintah semestinya memberikan kemudahan agar RS bisa maksimal melayani peserta JKN.
Baca juga: Open Day, Kementan Pamer Produk Pertanian bagi Milenial Usia Sekolah
"Proses credentialing penting tapi jangan menghambat RS bekerjasama dgn BPJS kesehatan. Demikian juga untuk proses memenuhi kriteria KRIS nantinya, RS pasti akan membutuhkan modal untuk menyesuaikan dengan KRIS," kata Timboel saat dihubungi, Jumat (26/8).
Ia mengungkapkan, sistem KRIS yang menjadikan pelayanan JKN-KIS menjadi satu kelas terstandar tentu akan mempersulit RS untuk melakukan penyesuaian.
"Bila KRIS dengan tetap 3 jenis ruang perawatan maka biaya yang dikeluarkan lebih rendah bila dibandingkan KRIS dengan satu klas. Fasilitas kredit dengan bunga rendah sehatusnya pun diberikan untuk membantu RS," beber dia.
Selain itu, ia menulai bahwa KRIS hanya satu klas akan memiliki masalah ke depan, dan bisa kontraproduktif meneyebabkan pelayanan JKN semakin menurun.
"Saya usul tetap ada 3 kelas namun ketiga kelas tersebut distandarkan, misalnya kelas 1 maksimal 2 tempat tidur, kelas 2 maksimal 3 tempat tidur dan kleas 3 makskmal 4 tempat tidur, dengan standar ruangan masing-masing kelas," imbuh dia.
Untuk itu, Timboel meminta agar pemerintah melakukan kajian ulang KRIS dengan waktu yang cukup Timboel menilai bahhwa aturan itu baru bisa diterapkan pada 2025 mendatang.
Sebelumnya, Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan kelas rawat inap standar (KRIS) yang akan menghapus kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan. Hal itu menjadi salah satu rekomendasi Persi yang merujuk pada hasil survei kesiapan RS.
"Ada 11 poin yang harus dikaji ulang sebelum pelaksanaan KRIS. Intinya, agar memberikan fleksibilitas terkait KRIS dalam proses kredensialing dan mengatur pembayaran selisih biaya mekanisme pembayarannya di RS," ucap Anggota Kompartemen Litbang dan Health Technology Assesment Persi Dede Anwar Musadad.
Poin-poin tersebut diantaranya meminta pemerintah menyusun tahapan pembinaan dan fasilitasi pemenuhan kriteria KRIS JKN
Selain itu menyusun dan menyosialisasikan pedoman tentang KRIS JKN, mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk penyesuaian KRIS di RS Pemerintah .
Pemerintah juga diminta memberlakukan KRIS PBI dan non-PBI pada masa transisi, menyediakan fasilitas kredit bersubsidi bagi RS untuk pemenuhan kriteria KRIS JKN, memberikan kelonggaran waktu pemberlakuan kebijakan KRIS JKN RS Swasta dan RS di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK).
Selain itu Menetapkan tarif KRIS JKN sesuai INA CBG's minimal kelas I existing, meninjau ulang 12 kriteria KRIS JKN berdasarkan hasil kajian serta meninjau Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tentang kebijakan selisih biaya dan meninjau regulasi tentang COB yang mendorong peran asuransi kesehatan komersial. (OL-6)