FORUM dialog B20-G20 yang diselenggarakan B20 Indonesia Finance & Infrastructure Task Force, secara hybrid Kamis (14/7) di Nusa Dua, Bali berjalan lancar dan sukses. Pertemuan ini membahas sejumlah rekomendasi kebijakan terkait keuangan dan infrastruktur yang juga akan dibahas dalam pertemuan para menkeu dan gubernur bank sentral negara-negara G20.
B20 Indonesia Finance & Infrastructure Task Force Chair Ridha Wirakusumah mengemukakan mengenai rekomendasi kebijakan yang dirumuskan satuan tugasnya guna mengatasi kesenjangan infrastruktur dan pendanaan terutama di negara-negara berkembang. "Kami mendorong empat rekomendasi Gugus Tugas F&I dapat dituangkan dalam aksi-aksi nyata, melalui kolaborasi pelaku usaha dan pemerintah, untuk mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan," tegas Ridha menutup paparan rekomendasi Gugus Tugas F&I.
Empat rekomendasi yang sudah dihasilkan adalah meningkatkan akses ke sumber pembiayaan yang terjangkau dan sesuai, mendorong kolaborasi antarnegara untuk mempercepat transisi yang adil menuju net-zero, mempercepat pengembangan dan adopsi infrastruktur digital dan cerdas serta memperbaiki regulasi jasa keuangan global untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan stabilitas.
Di sisi lain, Ketua Umum KADIN Indonesia Arsjad Rasjid menyatakan empat rekomendasi yang diajukan Task Force F&I untuk mewujudkan masa depan yang hijau dan berkelanjutan harus didukung dan diperjuangkan, terutama terkait hambatan dan rintangan yang menghalanginya.
"Kesenjangan terkait infrastruktur antara negara maju dan berkembang sangat terlihat jelas. Negara berkembang menghadapi tantangan yang sudah menjadi persoalan klasik, yakni minimnya infrastruktur di wilayah pedalaman dan pedesaan sehingga membuat pertumbuhan ekonomi menjadi tersendat dan berjalan lambat,” jelas Arsjad dalam keterangan yang diterima, Selasa (19/7).
Minimnya pembiayaan untuk infrastruktur, kata Arsjad harus segera diatasi. Di Indonesia, perkiraan biaya infrastruktur rentang 2022-2024 adalah sekitar US$445 miliar. Sedangkan pemerintah hanya mampu mendanai sekitar 37 persen dari total perkiraan biaya tersebut sehingga terjadi kekurangan biaya sebesar US$280 miliar.
"Untuk mengatasi tantangan tersebut perlu ada kolaborasi dan kerja sama yang lebih kuat. Pertama, kolaborasi dan kerja sama komunitas internasional, seperti G20 sangat penting untuk mempercepat proyek infrastruktur yang berkelanjutan,” katanya.
Arsjad mendorong negara-negara maju memberikan bantuan bagi negara negara berkembang melalui pendanaan dan investasi proyek infrastruktur serta transfer teknologi yang dapat membawa dampak positif bagi pembangunan berkelanjutan dan pemulihan ekonomi. Kedua, kemitraan publik-swasta, lanjut Arsjad merupakan kunci untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang lebih hijau dan cerdas. Sektor swasta sebagai mesin utama untuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memainkan peran yang semakin penting pada hampir semua perubahan besar global, sosial dan lingkungan.
Ia mengambil contoh kendaraan listrik yang menjadi solusi untuk mengurangi emisi dan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil atau inovasi pembiayaan secara digital atau tekfin untuk mendorong inklusivitas keuangan bagi masyarakat. Namun, Arsjad meminta dukungan pemerintah melalui kebijakan atau regulasi yang ramah dengan investasi, salah satunya melalui Omnibus Law.
"Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan ini akan menjadi panduan penting dan praktis bagi kita untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang lebih hijau dan cerdas dalam skala besar demi pemulihan ekonomi global yang kolaboratif dan inklusif,” terang Arsjad. (RO/OL-15)