09 June 2022, 17:06 WIB

Majelis Hakim VIIIA Kasus Pajak PT JJSW Vs Dirjen Pajak Diminta Obyektif


mediaindonesia.com | Ekonomi

dok.ist
 dok.ist
Pengadilan Pajak, Jakarta.

SENGKETA pajak antara PT Jesi Jason Surja Wibowo (PT JJSW/penggugat) melawan Dirjen Pajak (tergugat) memasuki sidang kesembilan di Pengadilan Pajak Jakarta, pada Senin (6/6). Majelis Hakim VIIIA dalam sidang ini dinilai tidak obyektif dalam menjalankan acara sidang.

Demikian disampaikan kuasa hukum PT JJSW Alessandro Rey dari Rey & Co Jakarta Attorneys At Law, dalam keterangannya, Kamis (9/6). Adapun Hakim Majelis VIII A terdiri dari, Erry Sapari Dipawinangun SH, MH selaku Hakim Ketua, Nany Wartiningsih SH, MSi, dan Benny Fernando Tampubolon SE, MM, MAk, MHum, masing - masing selaku Hakim Anggota;

Dalam persidangan kesembilan tersebut, Majelis Hakim VIIIA membuka persidangan dengan Agenda mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh penggugat. Yakni, Dr. Richard Burton, S.H., M.H. yang merupakan mantan Pegawai Direktorat Jenderal Pajak selama 33 tahun dan dosen FH Universitas Tarumanagara.

Kemudian Majelis Hakim menanyakan para pihak yang hadir, namun tergugat hadir tanpa adanya Surat Tugas dengan alasan server error. Sesuai dengan ketentuan pada Hukum Acara Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 4 ayat 7 PER 001/2010 jo. PER 001/2012 dan Pasal 4 ayat 5 PER 001/2010 jo. PER 001/2012. Bunyinya; Bagi Pegawai Negeri Sipil yang mewakili Terbanding/Tergugat, Surat Tugas yang ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang dipersamakan dengan Surat Kuasa Khusus.

"Karena Tim sidang tergugat tidak menyampaikan Surat Tugas kepada Pengadilan Pajak dengan patut, maka tergugat telah melanggar hukum acara pengadilan pajak, oleh karena itu Tergugat tidak berwenang untuk menghadiri persidangan mewakili Direktur Jenderal Pajak Melawan PT Jesi Jason Surja Wibowo," ujar Rey.

Meskipun adanya fakta tergugat tidak berwenang menghadiri persidangan mewakili Direktur Jenderal Pajak karena tidak adanya surat tugas, Majelis Hakim VIIIA cenderung bersikap berat sebelah. Walaupun pada awalnya Majelis Hakim menyatakan bahwa kehadiran Tergugat tidak dianggap hadir karena tidak adanya Surat Tugas, namun ditengah agenda mendengarkan keterangan ahli tiba-tiba panitera sidang memberi hasil print out Surat Tugas yang baru saja di print oleh panitera dan Majelis Hakim VIIIA mempersilahkan Tergugat untuk turut dalam persidangan kembali. Copy dari surat tugas tersebutpun tidak disampaikan dan diperlihatkan kepada Penggugat, hanya disampaikan kepada Majelis Hakim dan diperlihatkan secara sekilas kepada Ahli yang dihadirkan oleh penggugat.

Menurut penuturan saksi ahli, Dr. Richard Burton, S.H., M.H., penyampaian Surat Tugas tersebut melanggar hukum acara pengadilan pajak karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam PER 001/2010 jo. PER 003/2016. Tidak ada satu pun norma hukum yang mengatur kebebasan Tim Sidang Tergugat untuk menyampaikan 1 (satu) Surat Tugas dalam rangka mewakili Direktur Jenderal Pajak dalam 24 (dua puluh empat) sengketa pajak.

"Selain itu Surat Tugas yang diperlihatkan tadi juga tidak dicantumkan Nomor dan tanggal panggilan sidang sehingga diragukan keabsahannya," tegas saksi ahli Dr. Richard Burton, S.H., M.H.

Kemudian Majelis Hakimpun terkesan membiarkan tergugat tidak mematuhi perintah Majelis Hakim yang pada persidangan sebelumnya diperintahkan untuk memberikan softfile LHP beserta Daftar lampiran dikarenakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diberikan kepada Penggugat berupa hardfile terdapat beberapa halaman yang tidak terbaca dan fotocopynya buram serta tidak dilengkapi dengan daftar lampiran.

"Di sini sangat terlihat bahwa Majelis Hakim kehilangan marwahnya karena dengan mudahnya perintahnya disepelakan oleh Tergugat. Penggugatpun melampirkan bukti permintaan ulang softfile LHP tersebut melalui email sebanyak empat kali yang tidak direspon oleh Panitera Majelis Hakim VIIIA," sesal Rey.

Padahal halaman-halaman yang tidak terbaca dan buram tersebut salah satunya memuat mengenai pembuktian tergugat mengenai adanya Indikasi Transfer Pricing sehingga penggugat perlu tahu dasar dari tindakan pergugat melakukan Pemeriksaan Pajak tanpa dasar kewenangan selama dua tahun kurang dua hari tersebut, sehingga penggugat bisa menyiapkan bantahan terhadap dasar yang menjadi keyakinan Tergugat mengenakan alasan adanya indikasi Transfer Pricing untuk pemeriksaan pajak yang telah lewat jangka waktu tersebut.

Dikarenakan dasar acuan lamanya waktu pengujian pemeriksaan berupa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan (SP2L) Nomor PEMB-000137/WPJ.32/KP.1005/RIK.SIS/2019 tanggal 28 Agustus 2019  yang diterbitkan oleh Tergugat sendiri (Kepala KPP Pratama Boyolali) memuat perintah bahwa pemeriksaan pajak dilakukan selama 4 (empat) Bulan. Namun demikian apabila sesuai dengan Pasal 15 ayat 2 PMK 17/2013 std. PMK 18/2021, jangka waktu maksimal pengujian pemeriksaan pajak yaitu hanya enam bulan dan bukan dua tahun kurang dua hari, sehingga Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan(SPHP) harus disampaikan kepada Wajib Pajak usai jangka waktu pengujian enam bulan pemeriksaan tersebut berakhir.

Selain itu, bukti fotocopy yang buram tersebut juga terdapat Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) yang dichecklist dimana surat tersebut merupakan salah satu objek Posita Gugatan yang Penggugat ajukan karena tidak pernah diterbitkan dan disampaikan kepada Penggugat selama pemeriksaan. Surat tersebut merupakan dasar pelimpahan wewenang dari Kepala KPP Boyolali kepada Tim Pemeriksa Pajak dan surat tersebut wajib diperlihatkan Tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak sesuai dengan amanat Pasal 11 PMK 17/2013 std. PMK 18/2021 “Dalam melakukan Pemeriksaan untuk  menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak wajib: b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;”

Selain SP2 dalam Laporan LHP yang tidak diberikan/diperlihatkan oleh Dirjen Pajak selaku tergugat, penggugat juga tidak diberikan asli tiga Surat Pemberitahuan Perpanjangan jangka waktu Pengujian Pemeriksaan yang diduga palsu.

"Dengan diberikannya LHP yang tidak jelas dan kabur tersebut membuat penggugat tidak dapat menanyakan hal yang dimuat dalam LHP tergugat terkait posita dan petitum Penggugat kepada Ahli sehingga penggugat jelas merasa dirugikan dalam hal ini," tegas Rey.

Sementara dalam sesi keterangan ahli, penggugat mendapatkan intervensi dari Majelis Hakim untuk segera mengakhiri tanya jawab dengan ahli dengan dalih pertanyaan hanya berputar-putar saja dan tidak langsung ke inti posita gugatan. Padahal, jelas Rey, yang ditanyakan merupakan isi dari Posita dan tidak berputar-putar karena didalam tenggang waktu pemeriksaan sidang ditemukan novum (alat bukti baru) yang menjadi tambahan posita pelanggaran hukum acara pemeriksaan yang dilakukan oleh Penggugat (Tim Pemeriksa KPP Pratama Boyolali).

"Terlihat sekali kalau Majelis Hakim tidak membaca dan mengerti poin-poin bantahan yang kami ajukan sehingga mengatakan  bahwa kami hanya berputar-putar saja saat menanyakan keseluruhan posita kami kepada Ahli. Pembuktian Posita Pelanggaran Hukum Acara yang dilakukan oleh tergugat adalah merupakan hak kami sepenuhnya sehingga apabila memang sesinya terlalu panjang seharusunya Majelis Hakim mereses sidang untuk dilanjutkan ke agenda sidang berikutnya, bukannya memotong untuk diakhiri, hal tersebut menciderai keadilan dan hak kami selaku penggugat,” ungkap Rey.

Selain tidak membaca Gugatan dan Bantahan Penggugat, sehingga tidak memahami 5 Petita Penggugat, Majelis Hakim khususnya Hakim anggota Nani Wartiningsih, S.H., M.Si juga tidak bisa membedakan mana saksi dan ahli karena Hakim tersebut mengatakan kepada Penggugat untuk tidak perlu bertanya kepada Ahli karena Ahli sudah seharusnya mengetahui mengenai pokok perkara. Namun Penggugat menjelaskan kepada Hakim tersebut bahwa Ahli adalah orang yang dimintai keterangan berdasarkan keahliannya dan ahli bukan saksi karena Ahli tidak melihat, mendengar, mengetahui, serta mengalami kejadian, maka berdasarkan fakta tersebut terlihat jelas Hakim tidak mengerti Hukum Acara Persidangan Pengadilan Pajak.

Bahwa keberpihakan Majelis Hakim pun juga diperlihatkan saat sesi mendengarkan penjelasan Ahli mengenai Surat Tugas, salah satu hakim Anggota, Benny Fernando Tampubolon SE, MM, MAk, MHum, sempat spontan menyampaikan kepada Ahli “Format surat sama seperti yang kami pernah buat dulu”. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim VIIIA cenderung berpihak pada pihak Tergugat dikarenakan background dari para Hakim Majelis VIIIA yang merupakan mantan pegawai DJP, termasuk Benny Fernando Tampubolon merupakan mantan Supervisor Tim Pemeriksa Pajak.
Bahwa seharusnya sebagai Hakim yang dibawah naungan Lembaga Yudikatif harus bersikap adil dan netral dengan tidak berpihak kepada pihak yang bersengketa. Dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh Majelis Hakim Tersebut maka hal tersebut telah melanggar hak Pengugat dalam mendapatkan proses peradilan dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar, juga dijamin oleh Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

Sebelum sidang ditutup, penggugat meminta supaya diagendakan satu kali sidang lagi untuk menyampaikan daftar alat bukti namun Majelis Hakim menolak sidang penyampaian alat bukti dengan alasan daftar alat bukti dapat disampaikan bersamaan dengan kesimpulan agar persidangan cepat selesai.  

"Kami mohon kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung serta Ketua Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan dan mengawal jalannya persidangan antara PT Jesi Jason Surja Wibowo melawan Direktur Jenderal Pajak," pinta Rey. (OL-13)

Baca Juga: LHP Tidak Jelas Sidang Pajak PT JJSW Melawan Dirjen Pajak ...

BERITA TERKAIT