MINIMNYA dampak kenaikan harga dan pangan pada inflasi Indonesia saat ini dinilai sebagai buah dari kinerja fiskal negara. Dengan kata lain, kebijakan perlindungan sosial ditambah dengan subsidi dan kompensasi telah menekan laju inflasi.
"Ini karena subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah mampu menjaga harga energi di dalam negeri, sehingga (inflasi) naiknya tidak signifikan," ujar Ekonom Makroekonomi dan pasar Keuangan LPEM UI Teuku Riefky saat dihubungi, Kamis (2/6).
Menurutnya, berbagai prediksi mulanya memperkirakan Indonesia akan mengalami lonjakan inflasi akibat kenaikan harga energi dan pangan di tingkat dunia. Namun laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dinilai justru memperlihatkan sebaliknya.
Riefky mengatakan, hal tersebut menunjukkan fungsi fiskal negara berhasil menyerap inflasi di tingkat global. Karenanya, peranan keuangan negara dinilai penting dalam menekan kenaikan harga energi maupun pangan di dalam negeri.
"Jadi ini sangat besar perannya dari postur fiskal yang berubah dan menyerap inflasi dan tekanan kenaikan harga di sisi energi," jelasnya.
Ke depan, kata Riefky, beban fiskal juga tak akan terlalu berat bila dikaitkan dengan kenaikan harga energi. Sebab, di saat yang sama negara juga memperoleh keuntungan berupa penambahan pendapatan dari ekspor komoditas energi.
Hal yang akan menantang ialah dari sisi pangan. Berbeda dengan kondisi energi, kenaikan harga pangan tak akan berimplikasi pada pendapatan negara. Bisa jadi, justru menambah pengeluaran negara.
"Jadi subsidi pangan ini kalau pun nanti diberikan, itu akan memberikan tekanan terhadap sisi fiskal. Kalau tujuannya memang untuk menekan harga pangan agar tidak melonjak terlalu drastis," terang Riefky.
Sementara dari sisi finansial, Indonesia juga tak akan luput dari berbagai kebijakan moneter global. Sebab, pengetatan kebijakan moneter global juga menjadi salah satu upaya yang dilakukan berbagai negara untuk mengendalikan inflasi di saat ekonomi baru mulai pulih.
"Paling tidak yang perlu diperhatikan adalah agar inflasi tidak terlalu cepat. Kita ingin melihat pemulihan ekonomi yang terjadi untuk beberapa waktu baru kemudian inflasi merangkak," imbuh Riefky.
Baca juga : KSP Dorong Penguatan dan Pemberdayaan Penyuluh Pertanian
"Karena kalau inflasi terlalu cepat, ini akan memicu kebijakan moneter dalam negeri untuk menaikan suku bunga. Kalau BI meningkatkan suku bunga terlalu cepat, maka ini berpotensi akan mengganggu proses pemulihan ekonomi yang momentumnya saat ini sedang terbangun," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi secara bulanan sebesar 0,40%, mengerek inflasi tahunan menjadi 3,55% pada Mei 2022. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak Desember 2017, yakni di level 3,61%.
"Inflasi 3,55% ini kalau ditarik ke belakang, merupakan inflasi tertinggi sejak Desember 2017, di mana saat itu inflasi sebesar 3,61%," ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Kamis (2/6).
Adapun komponen pangan dan energi mencatatkan tren peningkatan inflasi sejak awal 2022. Pada Mei 2022, tingkat inflasi pangan dan energi tercatat 5,93% dan 4,18%, lebih tinggi dari level inflasi umum yang hanya 3,55% secara tahunan.
Secara bulanan inflasi pangan tercatat 0,92% dan memberi andil pada tingkat inflasi Mei sebesar 0,17%. Sedangkan inflasi energi tercatat 0,04% dan memberi andil pada tingkat inflasi 0,01%.
Margo mengungkapkan, peningkatan inflasi pada komponen pangan dan energi telah terlihat meningkat sedari awal tahun. Faktor global disebut menjadi sebab utamanya.
Namun demikian, inflasi dua komponen itu masih belum berdampak signifikan pada laju inflasi Mei yang tercatat 3,55% (yoy). Pasalnya, kebijakan penyesuaian harga BBM jenis Pertamax dilakukan pemerintah pada April 2022 dan tidak tergambar dalam laporan inflasi kali ini.
"Energi itu terkait dengan kebijakan pemerintah waktu menaikan Pertamax. Itu naik pada bulan April, jadi ini tidak tertangkap di bulan Mei," jelas Margo.
Tren peningkatan inflasi komponen pangan juga disebut Margo belum signifikan pada tingkat inflasi umum. Hal itu dikarenakan suplai pangan dalam negeri tergolong baik sehingga dampak kondisi global relatif minim. (OL-7)