26 January 2022, 19:44 WIB

Masyarakat Adat Kini Lebih Berdaya Kelola Hutan Adat


Ihfa Firdausya | Ekonomi

Antara/Wahdi Septiawan.
 Antara/Wahdi Septiawan.
Karst Bukit Tamulun yang berada di hutan adat Tamulun Indah di bagian hulu Sungai Batang Limun merupakan salah satu wisata alam potensial.

UNDANG-UNDANG Cipta Kerja (UU CK) dinilai membawa perubahan dalam pengelolaan hutan adat. Peraturan pemerintah turunan UU CK terkait hutan adat memperkuat mempertegas sejumlah hal.

Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Muhammad Said menyatakan itu. Menurutnya, hutan adat merupakan salah satu dari lima jari yang selama ini kita kenal, di samping hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan.

Melalui UU CK, hutan adat memiliki skema sendiri. Berbeda dengan skema hutan lain yang semua akses legal diberikan tanpa mengubah status hutan termasuk fungsinya, hutan adat berubah statusnya bukan lagi hutan negara.

"Jadi status hutan diubah dari hutan negara menjadi hutan hak, dalam hal ini hutan yang bersifat komunal," kata Said dalam Seminar Perhutanan Sosial sebagai bagian dari Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022, Rabu (26/1). Karena itu, masyarakat adat bisa mendapatkan haknya untuk mengelola hutannya. 

Bappeda Kabupaten Merangin Agus Zainuddin mencontohkan, selama ini masyarakat hukum adat terdiskriminasi. "Terutama yang wilayah adatnya diplot menjadi kawasan hutan. Ketika diplot sebagai kawasan hutan, sebagai contoh di Serampas, waktu itu ditetapkan 100% menjadi Taman Nasional Kerinci Sebelat. Artinya mereka terdiskriminasi oleh negara sendiri. Kita lupa di sana ada desa adat yang turun temurun," ungkap Agus. Menurutnya, saat ini dengan hukum yang lebih jelas, hak-hak masyarakat adat terhadap hutan adat harus dipulihkan.

Nadya Demadevina dari perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) mengemukakan, hutan adat memiliki dampak penting terhadap masyarakat adat. Dampaknya antara lain terhadap pemenuhan hak masyarakat hukum adat dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya.

Dia mencontohkan Komunitas Marena di Sulawesi. Sebelum menerima SK Hutan Adat, masyarakat adat ini tidak bisa mengakses sama sekali hutan adatnya karena ada di KPHL Mata Allo.

Baca juga: Menghirup Semerbak Kopi di Festival Pesona Agroforestry

"Di situ ada konsesi PT Adimitra, perusahaan penyadapan getah pinus. Setelah mendapat SK Hutan Adat untuk perlindungan hutannya, akhirnya masyarakat adat punya power untuk bernegosiasi dengan PT Adi Mitra. Melalui musyawarah adat, mereka bersepakat untuk PT Adi Mitra konsesinya lanjut satu tahun dengan bagi hasil dengan masyarakat adat," jelas Nadya. Terkait kesejahteraan, masyarakat adat Marena juga diperbolehkan untuk menggarap hutan adat, salah satunya dengan menanam kopi. 

Anitasria, perempuan asal perwakilan Hutan Adat Puyangsure Aek Bigha, menyebut banyak hal dalam hutan adat yang menjadi kebutuhan perempuan. Contohnya para perempuan desa punya kegiatan untuk memproduksi beragam anyaman.

"Di hutan masih banyak bambu yang tumbuh. Selain itu ada resam yang bisa kami manfaatkan menjadi anyaman, bisa dibuat gelang, cincin, suvenir, dan sebagainya. Jadi kami selaku ibu-ibu sangat ingin menjaga dan memanfaatkan hutan yang ada," ungkapnya. (OL-14)

BERITA TERKAIT