DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) menjadi UU. Pengesahan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR-RI ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (7/12).
"Kepada seluruh anggota, apakah RUU HKPD ini dapat disetujui untuk menjadi Undang Undang?" tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat disambut persetujuan anggota DPR yang diikuti pengetukan palu pengesahan.
RUU HKPD telah dibahas oleh pemerintah bersama Komisi XI DPR selama 6 bulan. Dalam prosesnya, pembahasan itu turut melibatkan pemangku kepentingan seperti akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan para ahli.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi yang juga menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) pembahasan RUU HKPD mengatakan, dari sembilan fraksi yang ada, hanya fraksi PKS yang menyatakan menolak RUU itu disahkan menjadi UU. Sementara delapan fraksi lainnya menyatakan setuju agar RUU HKPD disahkan menjadi UU.
"Fraksi PKS menolak hasil pembahasan RUU HKPD dan menyerahkan pengambilan keputusan selanjutnya dalam Rapat Paripurna DPR RI," ujar Fathan saat menyampaikan laporan hasil pembahasan tingkat I Komisi XI di dalam Rapat Paripurna.
Penolakan itu diamini oleh Juru Bicara Fraksi PKS Ahmad Juanidy Auly. Dia bilang, pihaknya menolak berdasarkan tiga pertimbangan, yaitu RUU HKPD dinilai cenderung memperkuat arah resentralisasi dan mereduksi semangat desentralisasi fiskal.
Selain itu PKS menilai hasil pembahasan RUU HKPD berpotensi meningkatkan risiko utang negara lantaran terbukanya opsi peningkatan utang daerah. Lalu rancangan produk hukum tersebut juga dianggap tidak memihak rakyat kecil lantaran tidak mengakomodir pembebasan pajak kendaraan bermotor (PKB) untuk roda 2 dengan CC kecil.
"Usulan kami (pembebasan pajak kendaraan bermotor) ditolak. Padahal sebagian besar kendaraan roda 2 ber-CC rendah dimiliki oleh masyarakat bawah," kata Junaidy.
Dia menambahkan, pihaknya turut menyoroti ihwal hilangnya klausul batas minimal pagu Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 26% dari pendapatan dalam negeri neto.
Hilangnya klausul yang ada di dalam Pasal 27 ayat (1) UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah itu dinilai memberikan ketidakpastian bagi pemda.
"Artinya, salah satu instrumen penting dalam mengatasi ketimpangan fiskal daerah tidak lagi diakomodasi dalam RUU HKPD. Karena tujuan utama DAU adalah pemerataan kemampuan keuangan atau mengurangi kesenjangan fiskal di tiap daerah," tutur Junaidy.
Baca juga: Menguak RUU HKPD bukan Buka Kotak Pandora
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, RUU HKPD dirancang bukan untuk menghadirkan resentralisasi, melainkan memperkuat desentralisasi fiskal yang telah berjalan. Menurutnya, RUU yang terdiri dari 12 bab dan memuat 193 pasal
itu didesain dengan upaya reformasi menyeluruh hingga memperkuat belanja daerah.
"RUU HKPD yang telah dibahas antara pemerintah dan DPR ini sama sekali tidak bertujuan untuk melakukan resentralisasi, namun justru menguatkan desentralisasi agar semakin berkualitas dan bertanggungjawab, demi kepentingan rakyat melalui berbagai kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat kinerja daerah," jelasnya saat memberikan pendapat akhir pemerintah dalam Rapat Paripurna.
Sri Mulyani bilang, RUU HKPD juga mengamanatkan simplifikasi program dan kegiatan pemerintah daerah. Pasalnya, saat ini tedapat 29.623 program dan 263.135 kegiatan pemda yang didanai melalui APBD dan kerap lambat pada tahap eksekusinya.
Hal itu menyebabkan belanja daerah tidak memberikan dampak signifikan bagi perekonomian wilayah maupun terhadap masyarakat sekitar.
"RUU HKPD akan mendorong daerah agar dapat melakukan belanja yang lebih fokus, sehingga dana yang ada tidak terpecah-pecah dalam kegiatan yang kecil-kecil yang tidak memberikan efek multiplier secara maksimal," ujar Sri Mulyani.
Adapun secara umum, RUU HKPD memiliki 4 pilar utama, yakni mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah dalam meminimalisasi ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan transfer ke daerah dan pembiayaan daerah; mengembangkan sistem pajak daerah; mendorong peningkatan kualitas belanja daerah; dan harmonisasi belanja pusat dan daerah. (A-2)