MENJELANG masa surutnya kejayaan batubara, produsen perlu mencari solusi penggunaannya di Indonesia. Apakah batubara masih akan diperlakukan sebagai energi atau sebagai bahan baku kimia senyawa karbon yang akan dikembangkan kepada industri kimia karbon ke depannya.
Menurut Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Suryo Eko Hadianto, dalam menyusun kebijakan harus dilihat kaoan batubara akan digunakan sebagai energi dan kapan menjadi bahan baku kimia dasar. Sebab suka tidak suka harus diakui sunset sudah datang untuk industri batu bara dalam konteks sebagai bahan energi.
Dia ilustrasikan biasanya suasana yang indah tampak saat matahari akan terbenam, inilah yang terjadi di sektor batubara saat sekarang harganya sedang tinggi-tingginya. Dia mengkhawatirkan fenomena yang sama terjadi dimana setelah itu matahari tenggelam, dan gelap akan datang di sektor batubara.
"Saat ini batubara masih mayoritas digunakan sebagai bahan energi. Maka kebijakan harus diatur dalam penggunaan batubara sebagai energi di dalam negeri," kata Suryo Eko dalam Webinar Strategis Hilirisasi Batubara, Jumat (12/11).
Saat di Cop26 Glasgow, dia katakan Presiden RI Joko Widodo memilih untuk tidak terburu-buru atau segera menutup PLTU, namun tetap mendukung langkah pengurangan penggunaan barubara dan upaya penurunan emisi.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani juga mengatakan Indonesia dapat menghentikan PLTU batu bara secara bertahap pada 2040 jika mendapat bantuan keuangan yang cukup dari masyarakat internasional. Sebelumnya, Indonesia memasang target tersebut pada 2056.
"Ini strategi yang cukup jitu. Karena Indonesia masih butuh energi yang murah, dan saat ini batubara yang murah untuk membangkitkan listrik. Dunia tidak teriak tentang pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) karena sudah bukan saingan pelaku bisnis energi baru terbarukan. Maka saingan utamanya adalah batubara. Padahal orientasi awalnya adalah perubahan iklim. Namun kini terlihat bahwa ini adalah bisnis," kata Suryo.
Baca juga: Temui Resistance, Harga Minyak Tertekan Tajam
Sebab bila berbicara tentang perubahan iklim, dan emisi karbon, dia jelaskan teknologi yang berkembang kini terkait pembakaran batubara dengan mengurangi 95% emisinya.
AS mendukung penghentian pemaiakan batubara sebab telah menemukan sumber gas alam yang harganya lebih murah. Namun saat ini negara-negara lain seperti Inggris, Kanada dan Eropa kembali menggunakan batubara pada saat menghadapi krisis sumber energi listrik.
"Ini menunjukan konspirasi ekonomi dan harus kita sadari," kata Suryo.
Indonesia yang cadangan batubara relatif ada sekitar 39 miliar ton, diharapkan jangan sampai terkecoh dengan hal ini. Sebab rakyat masih membutuhkan energi yang murah.
"Kita masih punya waktu mengembangkan teknologi carbon capture sedemikian rupa sehingga pada waktunya nanti teknologi ini sudah sangat murah," kata Suryo.
Bila Indonesia dengan gegabah menutup PLTU, maka Indonesia harus investasi baru untuk semua pembangkit yang ditutup dan dalam waktu singkat, sementara energi baru terbarukan masih tinggi biayanya. Lalu energi pengganti PLTU yang relatif lebih mahal, produk industri turunan yang membutuhkan energi sebagai bahan baku akan terkena beban biaya lebih tinggi.
"Usulan kami, pada PLTU bisa diinvestasikan teknologi carbon capture. Dengan demikian terjadi optimasi, dimana batubara yang kita miliki tetap terutilisasi, masalah emiso karbon juga tersolusikan dengan teknologi carbon capture. Ini yang harus dilakukan, mengoptimasi cadangan batubara, menyikapi perubahan iklim, dan tetap memenuhi apa yang disepakati pada Paris Agreement, tanpa ada korban atau beban biaya bagi bangsa," kata Suryo Eko. (A-2)