KRISIS energi yang melanda negara-negara di Eropa, Asia, bahkan Amerika dianggap menjadi bukti bahwa energi terbarukan masih sulit menopang kebutuhan energi.
Praktisi energi Bob S. Effendi mengatakan hal itu berkaca dari kasus yang dialami Tiongkok yang diketahui mengalami pemadaman listrik bergilir. Ini terjadi karena negara itu berusaha melepaskan diri dari bahan bakar fosil dengan mengurangi emisi karbon yang menyebabkan ratusan tambang ditutup dan memangkas produksi.
Namun, saat terjadi banjir besar, Tiongkok ketar-ketir membutuhkan pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik. Begitupun juga di Eropa. Di Inggris dan Jerman, katanya, mengandalkan energi terbarukan dari tenaga angin, dan tenaga hidro yang menjadi andalan di Norwegia. Tapi, kata Bob, sumber tersebut mengering, angin tidak bertiup, dan ketinggian air di Norwegia merosot.
"Energi terbarukan mengandalkan cuaca. Tapi, bagaimana kalau terjadi banjir hebat, lalu tidak ada angin berbulan-bulan. Tarif listrik di Inggris naik tiga kali lipat. Energi terbarukan masih belum bisa menopang kebutuhan energi," ungkap Bob di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (5/11).
Dia pun menyinggung komitmen negara-negara dunia yang menyatakan masih sulit melepas penggunaan bahan bakar berbasis fosil, termasuk batu bara, berdasarkan bocoran dokumen yang diperoleh BBC News beberapa waktu lalu. Indonesia pun juga disebut sependapat dengan hal tersebut, namun belum ada pernyataan resmi dari pemerintah.
"Banyak negara dunia berkomitmen dengan bilang tidak bisa menutup pemakaian batu bara karena tidak yakin energi terbarukan bisa mengganti sebagai energi primer," jelas Chief Operating Officer PT ThorCon Power Indonesia.
Baca juga : Berbasis Bisnis dan Profesionalisme, Pertanian Kini Memasuki Era Baru
Bob pun berkesimpulan, ekonomi tidak bisa selalu mengandalkan energi yang bergantung kepada cuaca. Lalu, volatilitas harga yang tinggi pada suatu pasokan energi akan menjadi beban dalam biaya pokok produksi listrik. Dia menilai pasokan energi yang bisa menggantikan pemakaian batu bara ialah energi dari nuklir.
"Dalam keadaaan krisis hanya ada dua negara yang selamat, yakni Norwegia dan Prancis. Prancis mengandalkan lebih dari 75% bauran energi dari nuklir. Energi ini tidak berpengaruh terhadap efek volatilitas bahan bakar," ucapnya.
Indonesia pun diminta untuk belajar dari krisis tersebut. Menurut Bob, untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional selain batu bara ialah pembangkit listrik tenaga nuklir dengan bahan bakar torium (PLTT).
PT ThorCon Power Indonesia sendiri digadang menjadi perusahaan pengembangan energi nuklir pertama di Indonesia. Perusahaan itu sudah menggandeng kampus Institut Teknologi Bandung untuk menuju pembangunan Laboratorium Molten Salt Reactor (MSR) pertama di Indonesia. Ditargetkan, ground breaking tempat itu pada akhir November ini.
"Konstruksinya PLTT kami akan dibangun oleh PT PAL. Bila lolos uji, maka prototipe baru akan dibangun pada 2025 dan berharap beroperasi secara komersial pada 2028," pungkas Bob. (OL-7)