TERLEPAS dari cara tak lazim yang dilakukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), keputusan mereka menggaet sekaligus menunjuk Kaesang Pangarep sebagai ketua umum merupakan bukti sekali lagi bahwa kelompok anak muda ialah pasar yang sangat menggiurkan dalam konteks Pemilu 2024. Segala cara boleh jadi akan dilakukan partai politik untuk memikat golongan kaum milenial dan generasi Z.
PSI barangkali telah menunjukkan hal itu. Mereka tak memusingkan cara, sekalipun itu harus mengorbankan keadaban demokrasi dalam proses pergantian atau sirkulasi kepemimpinan di tubuh partai. Mereka tidak terlalu memedulikan strategi, sekali pun itu berpotensi meluruhkan asas meritokrasi dan sistem kaderisasi yang seharusnya menjadi spirit perjuangan setiap parpol.
Yang penting sasaran mereka tercapai yaitu menggaet sebanyak-banyaknya pemilih muda dengan menyodorkan sosok anak muda sebagai simbol. Dalam konteks hari ini, Kaesang memang menjadi pilihan yang paling rasional untuk menggapai tujuan itu. Citra Kaesang sebagai sosok anak muda yang sukses, yang dekat dengan kelompok generasi penggila media sosial, tak bisa dinafikan. Apalagi, ia juga putra Presiden yang sedang berkuasa.
PSI dan semua parpol peserta pemilu tentu sangat paham betapa krusialnya suara anak muda dalam Pemilu 2024. Merekalah yang menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mendominasi daftar pemilih Pemilu 2024. Dari total daftar pemilih tetap (DPT) yang dirilis KPU, generasi milenial menguasai posisi puncak dengan 68.822.389 orang atau 33,60?ri DPT.
Dua lapis di bawahnya ada pemilih generasi Z dengan jumlah 46.800.161 orang atau 22,85?ri total. Artinya bila generasi milenial dan generasi Z digabungkan, kelompok pemilih muda akan mendominasi lebih dari separuh dari total calon pemilih. Bukankah ini sebuah pasar yang mesti dikuasai bila parpol atau pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ingin memenangi kontestasi?
Namun, tentu tidak segampang itu menggaet suara anak muda. Kita tahu golongan generasi muda memiliki karakter, sikap, serta orientasi politik yang berbeda dengan generasi lebih tua. Dengan sebagian besar dari mereka tumbuh dan beranjak dewasa di era reformasi, daya kekritisan mereka lebih tinggi ketimbang generasi yang besar di zaman Orde Baru. Dengan begitu, cara pendekatannya pun semestinya berbeda.
Mereka tidak hanya lebih melek teknologi, tetapi secara umum juga semakin punya ketertarikan, kepekaan, sekaligus kritis terhadap isu-isu yang menjadi permasalahan dunia saat ini dan khususnya persoalan-persoalan di Republik ini. Mulai isu korupsi, demokrasi, ekonomi, lingkungan hidup, pendidikan, hingga perubahan iklim.
Dengan fakta itu, kiranya strategi untuk menarik suara anak muda tidak cukup hanya dilakukan dengan menebar gimik, idiom, narasi, ataupun menyorong-nyorong ikon yang menyimbolkan kelompok muda. Berlomba memperebutkan pilihan anak muda sah-sah saja, tapi juga jangan asal berebut. Berpacu untuk memenangi hati anak muda boleh, tapi jangan pula dengan cara yang kebablasan.
Demokrasi, termasuk di tubuh internal parpol, punya mekanisme dan keadaban yang mesti dijaga. Jangan demi meraup sebanyak-banyaknya suara pemilih muda, mereka lantas semena-mena menggunakan cara-cara yang justru melunturkan ruh demokrasi, yang semestinya menjadi pegangan parpol sebagai salah satu pilar demokrasi.