PENERBITAN aturan untuk penjualan daring melalui media sosial (medsos) memang sudah semestinya. Sebagaimana semua jenis usaha di negara ini, aturan main harus jelas untuk menjaga iklim persaingan usaha.
Namun, aturan yang tidak holistis hanya akan menjadi bumerang bagi pelaku usaha dalam negeri. Sementara itu, platform medsos dan e-commerce tetap beroperasi tanpa memberikan dampak signifikan terhadap pemasukan negara.
Hal itulah yang patut dikhawatirkan dari revisi Permendag Nomor 50/2020 yang menurut Mendag Zulkifli Hasan, pada Senin (25/9) sore, akan segera ia tanda tangani. Langkah revisi Permendag 50/2020 sebenarnya sudah santer sejak Juli 2023.
Revisi dinilai perlu segera dilakukan karena pemerintah melihat indikasi persaingan usaha yang tidak sehat akibat fitur penjualan di medsos. Harga barang di sana dinilai jauh lebih murah daripada toko konvensional karena tanpa pajak. Selain itu, barang-barang tersebut diyakini barang impor.
Saat ini, revisi yang disebut pemerintah ialah mempertegas batasan e-commerce, keharusan memiliki izin usaha, dan membayar pajak. Belanja melalui social commerce juga akan dikenai pajak.
Kini, sedikit revisi permendag yang baru diungkap hanyalah pemisahan medsos dengan e-commerce. Hal itu pun ditegaskan oleh Presiden Jokowi. Medsos hanya dapat menjadi sarana promosi.
Jikalau memang hanya itu senjata andalan pemerintah, patut kita katakan revisi itu bagai macan ompong. Pemisahan medsos dengan e-commerce tidak menjamin terciptanya persaingan usaha yang sehat, apalagi menyelamatkan UMKM.
Dengan begitu cepat dan lihainya perkembangan teknologi digital, tidak akan butuh waktu lama sampai platform-platform medsos dan e-commerce akan membuat fitur baru yang memanfaatkan celah aturan. Tiktok, sebagai medsos yang paling disorot, mengoperasikan fitur Tiktok Shop di Indonesia sejak 2021.
Bahkan, sebelum Tiktok Shop, penjualan dan berbelanja langsung melalui medsos sudah lama diakomodasi Facebook dan Instagram. Fitur penjualan melalui medsos nyatanya memang sangat dimanfaatkan pelaku usaha Tanah Air, baik yang UMKM hingga yang raksasa. Tiktok mengeklaim Tiktok Shop dimanfaatkan 6 juta penjual Indonesia, yakni 2 juta di antaranya ialah UMKM.
Kini, ketika hal itu dilarang, tidak mengherankan tagar #Kamiumkmditiktok ramai di lini masa sebagai wujud protes. Di sisi lain, ke depan tidak ada jaminan jika barang yang dipromosikan di Tiktok bukanlah barang impor.
Kita pun akan sangat sulit mencegah masyarakat memanfaatkan fitur karena kehidupan digital memang sudah zamannya. Sebab itu, tidak ada jaminan pula jika pembeli akan kembali datang ke toko-toko konvensional, termasuk Tanah Abang.
Oleh sebab itu, pemerintah semestinya membuat aturan yang lebih holistis dan tegas melalui penerapan pajak. Bahkan, pemerintah dapat menerapkan bea tambahan bagi penjualan barang impor. Dengan cara itu, pemerintah bisa membuat iklim persaingan sehat sekaligus menambah kas negara.
Sementara itu, soal penyelamatan UMKM, pemerintah harus menggunakan cara lainnya. Mulai pelatihan teknik penjualan dari hingga menciptakan ekosistem yang memudahkan promosi UMKM, khususnya oleh para influencer.
Harus kita akui salah satu faktor yang membuat produk atau brand begitu laris manis di social commerce ialah kehadiran selebritas sebagai tenaga penjual ataupun brand ambassador. Sayangnya, tidak sedikit selebritas dalam negeri yang tidak memiliki kepekaan akan produk dalam negeri, malah mereka begitu bangga memakai produk luar dan dijadikan layaknya standar hidup.
Melindungi UMKM jangan parsial. Perlindungannya harus dari hulu sampai hilir.
Data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional sebesar 60,5%. Data itu menunjukkan bahwa UMKM ialah pilar dan saka guru perekonomian nasional. Selamatkan UMKM dengan menciptakan ekosistem yang kondusif di Tanah Air.