NETRALITAS aparatur sipil negara (ASN) ialah bentuk upaya untuk menegakkan pemilihan umum yang jujur dan adil. Netralitas ASN menjadi prinsip penting untuk menghasilkan pemilu yang demokratis, berintegritas, dan jauh dari pengaruh pemihakan.
ASN memiliki posisi strategis dalam pemerintahan dan birokrasi. Dengan posisi itu, ASN bisa saja dimanfaatkan kelompok kepentingan sebagai mesin yang andal untuk memenangi pemilu.
Karena itu, undang-undang pun dengan tegas melarang PNS untuk berafiliasi kepada parpol atau kekuatan politik tertentu. ASN harus tetap pada kedudukan profesional dan tidak memihak kepada salah satu kontestan politik.
Menjelang Pemilu 2024, soal netralitas ASN diatur mendetail. Tidak hanya dalam konteks politisasi birokrasi, tetapi juga hingga pada penggunaan media sosial secara personal. ASN dilarang membuat unggahan, mengomentari, membagikan, menyukai, dan bergabung atau 'follow' dalam grup/akun pemenangan peserta pemilu.
Aturan itu tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan. SKB itu ditandatangani lima pemimpin kementerian/lembaga, yaitu Kemendagri, Bawaslu, Kemenpan dan Rebiro, Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Aturan tersebut akan menjadi panduan bagi semua pemangku kepentingan untuk menyoroti perilaku ASN di kancah kontestasi demokrasi Pemilu 2024. Pasalnya, pelanggaran netralitas ASN masih saja terjadi, bahkan dalam tingkat yang cukup mengkhawatirkan.
Penyebab ketidaknetralan itu di antaranya mentalitas birokrasi yang masih jauh dari semangat reformasi birokrasi yang mestinya mewujudkan ASN yang loyal pada pelayanan publik dan kepentingan negara ketimbang atasan atau aktor politik lokal. Selain itu, pemilu atau pemilihan digunakan sebagai tukar guling untuk mendapat promosi jabatan.
Dari pemetaan Bawaslu, ada 10 provinsi dengan tingkat kerawanan netralitas ASN. Provinsi Maluku Utara menjadi yang terburuk soal netralitas politik dengan skor kerawanan 100 alias maksimal.
Untuk itulah, SKB tersebut diharapkan mampu menjadi instrumen antisipatif ketidaknetralan ASN yang masih rawan terjadi di sejumlah daerah. Tidak hanya mengantisipasi politisasi birokrasi, tetapi juga kemungkinan mobilisasi ASN di dunia maya.
Hadirnya aturan itu, di satu sisi, memang diharapkan bisa menjadi rambu atas ketidaknetralan ASN. Akan tetapi, di sisi lain, akan membuat ASN kehilangan kebebasan berekspresi dan menyatakan sikap politik.
Karena itulah, penegakan aturan itu harus benar-benar fair dan berkeadilan agar pengorbanan atas hak kebebasan berekspresi ASN tidak sia-sia. Lembaga dan instansi berwenang juga harus transparan dan tidak tebang pilih dalam menindak ASN yang melanggar.
Tidak tebang pilih artinya, kalau melarang, harus bersifat untuk siapa pun. Jangan pendukung calon A dikecualikan, sedangkan yang mendukung calon B dipidanakan. Begitu pun upaya pencegahan dan pengawasan ASN oleh KASN, Kemendagri, Kemenpan dan Rebiro, Polri, serta pemerintah daerah harus memiliki komitmen yang sama untuk kepentingan negara, bukan pihak tertentu semata.
Laksanakan sosialisasi secara masif soal pentingnya ASN bersikap netral. Optimalkan patroli pengawasan siber di media sosial dan perkuat koordinasi serta kerja sama di antara pihak terkait. Bahkan, libatkan masyarakat untuk melakukan pengawasan terpadu dengan akses pelaporan. Netralitas amtenar jangan ambyar demi pemilu yang berkualitas.