Netralitas Amtenar Ambyar



Views : 1395 - 22 September 2023, 21:00 WIB

DALAM memasuki tahun politik dan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) pada 2024, netralitas aparatur sipil negara (ASN) kembali menjadi sorotan publik. Seorang ASN dituntut netral serta harus bebas dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak pada kepentingan politik mana pun.

Mengapa netralitas ASN penting? Netralitas ASN harus terus dijaga dan diawasi agar pemilu/pemilihan kepala daerah dapat berjalan secara jujur (fairplay) serta adil antara calon yang memiliki akses kekuasaan dan calon yang tidak memiliki relasi kuasa di lingkungan birokrasi pemerintahan.

Selain itu, dengan jumlah ASN yang mencapai 4.344.552 orang dan fasilitas negara yang dikuasakan pada mereka, ASN bisa dimobilisasi untuk menjadi mesin politik demi memenangkan salah satu tokoh yang mengikuti kontestasi.

Netralitas ASN dalam pemilu juga menjadi penting untuk menjaga layanan publik tetap berjalan sebagaimana mestinya. Mereka harus konsisten menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan publik sehingga tetap stabil dan berkeadilan di tengah tahapan Pemilu 2024.

Dengan bersikap netral, ASN tidak gaduh bermain Whatsapp, Facebook, atau media sosial lainnya untuk mendukung calon mereka. Dengan demikian, mereka bisa fokus pada tugas melakukan pelayanan publik dan bersikap profesional pada tugas mereka.

Pemilu yang digelar pada 14 Februari 2024 dan pilkada serentak 27 November 2024 akan berlangsung di 548 daerah. Bisa dibayangkan bagaimana gaduhnya jika para ASN tidak netral dalam tugas mereka. Karena itu, ASN dituntut untuk mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk menjaga netralitas ASN tersebut, pemerintah sejatinya telah membuat rambu-rambu dan barikade, baik melalui undang-undang, peraturan pemerintah, maupun undang-undang pemilu.

Misalnya, Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Pasal 4 angka 12–15 PNS dilarang memberi dukungan atau melakukan kegiatan yang mengarah pada politik praktis pada kontestasi pilkada/pileg/pilpres.

Pun pada UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang isinya menyatakan salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN ialah netralitas. Asas netralitas itu berarti setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.

Sementara itu, dalam UU Pemilu Pasal 282 dinyatakan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Kendati telah dibuatkan rambu-rambu dan barikade, pelanggaran ketidaknetralan ASN terus terjadi. Paling banyak terjadi saat pemilihan kepala daerah atau pilkada. Potensi pelanggaran asas negralitas ASN juga makin besar jika pemilu dipercepat.

Berdasarkan temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ketidaknetralan ASN dilakukan dengan mempromosikan calon tertentu, menyatakan dukungan secara terbuka di media sosial, menggunakan fasilitas negara untuk mendukung calon petahana, memberikan dukungan pada grup aplikasi pesan singkat seperti Whatsapp, serta terlibat secara aktif ataupun pasif dalam kampanye calon.

Hasil pemetaan yang dilakukan Bawaslu menunjukkan di tingkat provinsi, netralitas ASN jadi isu paling rawan, yakni di 22 provinsi. Sementara itu, di tingkat kabupaten kota, isu netralitas ASN menjadi yang paling rawan di 347 kabupaten kota.

Hasil pemetaan menunjukkan Maluku Utara sebagai provinsi dengan kerawanan tertinggi isu netralitas ASN dengan skor 100. Urutan kedua ditempati Sulawesi Utara (55,87), Banten (22,98), Sulawesi Selatan (21,93), Nusa Tenggara Timur (9,4), Kalimantan Timur (6,01), Jawa Barat (5,48), Sumatra Barat (4,96), Gorontalo (3,9), dan Lampung (3,9).

Banyak contoh ketidaknetralan ASN. Misalnya, promosi yang dilakukan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Bobby Nasution. Dalam video yang beredar, keduanya terang-terangan mempromosikan jagoan mereka, bakal calon presiden Ganjar Pranowo.

Sialnya, meskipun Bawaslu menyatakan terjadi pelanggaran atas video dukungan tersebut, lembaga pengawas pemilu itu tidak bisa menindak atau memidanakan pelanggaran tersebut. Bawaslu hanya menyerahkan kepada atasan keduanya, yakni Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, untuk melakukan pembinaan. Apakah Mendagri berani membina keluarga Presiden atas sebuah pelanggaran hukum? Enggak bahaya tah...

BACA JUGA