DIKOTOMI yang amat rigid antara narasi perubahan dan narasi keberlanjutan dalam konteks visi kepemimpinan nasional yang akan datang sempat menjadi perdebatan seru di antara koalisi pendukung calon presiden pada Pilpres 2024. Dua narasi itu seolah menjadi mantra yang tak bisa diutak-atik.
Yang satu teguh dengan visi perubahan, yang kemudian banyak ditafsirkan secara telanjang, bahkan dicurigai dan ditakuti sebagai upaya mengoreksi seluruh kebijakan dan program pemerintahan saat ini. Yang satu lagi kukuh dengan narasi keberlanjutan, yang diartikan sebagai keinginan meneruskan apa pun visi, kebijakan, dan pencapaian pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
Ibaratnya, satu kubu mengarah ke selatan, kubu lain bergerak ke utara. Tidak ada titik temu. Masing-masing, dengan segala argumennya, hakul yakin bahwa visi merekalah yang terbaik untuk membangun dan memajukan bangsa ini ke depan.
Namun, sesuai dengan fatsunnya, politik senantiasa mengalir. Politik tak bisa diam di satu tempat, selalu diwarnai dinamika dan kejutan-kejutan. Begitupun dalam internal koalisi yang dalam perkembangannya mengalami bongkar pasang anggota sebagai impak dari sangat cairnya perpolitikan nasional belakangan ini.
Hal itu, mau tidak mau, juga mengubah pendekatan tiap koalisi dalam penjabaran visi mereka. Masuknya PKB ke dalam Koalisi Perubahan, misalnya, sedikitnya telah memasukkan unsur keberlanjutan sebagai bagian dari payung besar visi perubahan yang sejak awal menjadi spirit koalisi tersebut.
Sebaliknya, rencana bergabungnya Partai Demokrat ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), patut diduga akan membuat narasi keberlanjutan murni yang selama ini digadang-gadang KIM menjadi sedikit bergeser. Visi keberlanjutan tentu tetap akan jadi patron, tetapi semangat perubahan yang dibawa Partai Demokrat kiranya tidak akan begitu saja dipinggirkan.
Dinamika itu tentu saja menyejukkan. Narasi yang disodorkan ke publik menjadi lebih rasional tanpa garis demarkasi yang rigid. Tak ada lagi klaim paling benar dari kedua narasi tersebut. Tidak ada lagi tudingan bahwa yang mendukung perubahan berarti tidak menginginkan keberlanjutan, atau sebaliknya siapa yang menarasikan keberlanjutan berarti tidak ingin ada perubahan atau perbaikan.
Keberlanjutan sesungguhnya tidak bisa meninggalkan elemen-elemen perubahan. Memangnya dari sekian banyak kebijakan dan program pemerintah tidak ada satu pun yang keliru? Pasti ada dan tentu saja itu perlu perbaikan dan perubahan. Jadi, para penyokong keberlanjutan pun semestinya tidak perlu alergi dengan perubahan.
Begitu pula perubahan sejatinya bukan berarti membatalkan atau tidak meneruskan kebijakan baik yang sudah ada. Perubahan, seperti dikatakan bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, justru akan memperkaya sekaligus memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat. Karena itu, dalam konteks menjalankan roda pemerintahan, meneruskan yang baik serta mengubah yang tidak baik sesungguhnya adalah hal yang lumrah.