IBARAT dinosaurus, sejumlah pusat perbelanjaan legendaris di Tanah Air kini terancam musnah, seperti Pasar Tanah Abang, Mangga Dua, dan Roxi.
Bak perdebatan telur dan ayam, pedagang memilih menutup toko karena sepinya pengunjung. Manusia sebagai makhluk ekonomi tentu berpikir rasional. Memaksakan membuka usaha dengan membayar sewa kios, cicilan, dan upah karyawan, tetapi merugi. Atau, pilihan mereka ialah mengakhiri usaha sembari menanti situasi membaik.
Di sisi lain, pengunjung enggan mendatangi pusat perbelanjaan lantaran banyak gerai toko yang tutup. Padahal, di kala situasi normal, pengunjung bisa memadati kawasan Tanah Abang dan pusat grosir lainnya untuk sekadar melihat-lihat hingga memborong beragam barang.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki memperkirakan penjualan di Tanah Abang turun lebih dari 50%. Biang masalah kekalahan pusat grosir busana terbesar di Asia Tenggara itu ialah kalah saing dengan produk asal luar negeri yang dijual lebih murah lewat platform daring.
Ditambah lagi, pandemi covid-19 mempercepat penggunaan platform digital di berbagai lini kehidupan. Hanya, munculnya kehidupan di dunia digital ternyata justru mematikan usaha mikro kecil menengah (UMKM) secara perlahan, tapi pasti.
Sebagian orang menganggap kemampuan beradaptasi di era digitalisasi akan menjadi kata kunci bagi pelaku usaha untuk mampu bertahan agar tidak menjadi dinosaurus. Hanya, musuh UMKM bukan hanya kehadiran dunia digital. Mereka tidak mungkin mampu bertahan menghadapi pemain kakap yang berani untuk menjual rugi demi merusak pasar.
Teten Masduki dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pun menegaskan sikap pemerintah untuk melindungi pelaku UMKM Indonesia. Alhasil, mereka akan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perdagangan Digital agar bisa memberi perlakuan yang sama antara produk lokal dan impor.
Semisal, pengenaan pajak yang sama terhadap produk yang dijual di platform digital atau social commerce, baik lokal maupun impor. Selain itu, membatasi batas minimum harga barang impor yang bisa dijual di platform daring.
Hanya, di saat lebih dari separuh pedagang Tanah Abang gulung tikar, pemerintah masih berkutat di harmonisasi revisi peraturan itu.
Pelaku usaha tidak butuh mengetahui proses harmonisasi. Mereka memerlukan kepastian mengenai regulasi yang mampu melindungi.
Pemerintah seakan tidak sigap menghadapi perkembangan platform digital. Kelambanan menyusun aturan tidak akan menghentikan pelaku usaha kecil yang harus menghentikan usaha mereka. Di sisi lain, serbuan barang impor murah di platform digital juga akan terus berlangsung.
Janji ataupun rencana pemerintah melindungi pelaku UMKM ialah berbicara mengenai masa depan. Rencana atau angan-angan seputar UMKM juga amat manis. Semanis janji kampanye di masa pemilu.
Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan mengajak DPR untuk membuat omnibus law untuk melindungi UMKM sehingga puluhan undang-undang yang menghambat pengembangan UMKM akan sekaligus direvisi. Hanya, perkataan yang diungkapkan pada 20 Oktober 2019 tidak kunjung terealisasi.
Selain itu, pemerintah berencana membuat produk pelaku usaha mikro masuk dalam global value chain dan menyubsitusi barang impor. Dengan kata lain, hasil produksi pelaku usaha mikro anak bangsa bisa diekspor ke negeri lain. Cita-cita yang sudah didengungkan sejak masa kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla berhadapan dengan fakta kekinian yang berada di posisi 180 derajat.
Boro-boro mau ekspor. Pelaku usaha di pusat perdagangan legendaris di Tanah Air justru sedang menghadapi kematian. Jangankan menyubsitusi barang impor. Produk anak bangsa kian terpojokkan oleh kehadiran barang dari luar negeri beserta permainan harga mereka.