UPAYA memperkuat demokrasi di Indonesia membutuhkan kesadaran kolektif. Tidak sedikit pihak harus diedukasi bahwa politik tidak melulu urusan menang-kalah dalam pemilihan, tetapi soal bagaimana ide dan gagasan lahir melalui kompetisi yang sehat dan adil.
Semua bakal calon presiden pantang diganjal apalagi sampai dijegal. Seluruh sarana dan prasarana seyogianya dapat dimanfaatkan oleh siapa pun tanpa terkecuali demi menghasilkan pemimpin yang benar-benar melayani kepentingan rakyat dan komit menjalankan politik kebinekaan.
Cerita bakal calon presiden Anies Baswedan dari Yogyakarta bahwa tidak ada pengusaha besar yang berani mendekat pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, sekalinya membantu sang pengusaha besar malah menghadapi pemeriksaan pajak. Hal ini menjadi bukti demokrasi di Indonesia masih harus diperkuat. Anies seperti sedang berjalan di atas tali tipis kompetisi menang-kalah.
"Ada contoh di Jawa Barat dan Jawa Tengah pengusaha besar membantu. Setelah selesai membantu, katanya random, tapi 10 perusahaan miliknya semua diperiksa pajak. Itu yang katanya random," kata Anies dalam diskusi publik di Kampus UGM, Yogyakarta, Selasa (19/9), kemarin.
Penuturan bacapres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan ini patut dijadikan bahan introspeksi bersama. Akankah negeri ini terus diasuh dengan pola jegal-menjegal, tanpa ada ruang kesepahaman bahwa siapa pun yang maju di pemilu presiden merupakan putra-putri terbaik bangsa sendiri?
Kita harus mengingatkan para pemangku kebijakan untuk menciptakan lingkungan politik yang inklusif sehingga semua bakal calon presiden dapat berkompetisi tanpa rasa takut akan hambatan atau pembatasan yang tidak adil.
Indonesia harus terus bergerak menuju pola politik yang lebih matang. Kepentingan rakyat mesti menjadi prioritas utama dan semua calon pemimpin memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan melayani negara dengan integritas dan dedikasi.
Kalau penjegalan itu terus dibiarkan, yang rugi bukan Anies semata, sebaliknya justru Indeks Demokrasi Indonesia yang digerogoti. Prinsip kebebasan dan kesetaraan di negeri ini semakin terancam hanya karena perbedaan pilihan politik.
Dari laporan indeks demokrasi global yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit pada awal Februari 2023, Indonesia mengantungi nilai 6,71 dari 167 negara. Skor ini sama dengan indeks demokrasi tahun 2021. Namun, peringkat Indonesia turun dari 52 ke 54.
Indonesia masih masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy) menurut versi The Economist Intelligence Unit. Padahal, kita seharusnya bisa segera keluar dari zona tersebut untuk menjadi negara demokrasi penuh (full democracy).
Menjadi negara demokrasi penuh berarti ada sistem kontrol pemerintahan baik, sistem peradilan dan penegakan hukum baik, kinerja pemerintah baik, serta media massa yang beragam dan independen. Namun, itu semua angan-angan belaka kalau penjegalan terhadap siapa pun masih merajalela.
Publik tentu ingin semua pihak, terutama penguasa, bekerja sama menciptakan demokrasi yang lebih kuat dan inklusif di Indonesia. Dengan demikian, negara ini dapat mencapai potensi penuhnya dan menjadi contoh demokrasi yang sehat di kawasan ini dan di seluruh dunia.
Langkah kecil bisa dimulai dengan tidak lagi memunculkan gangguan perizinan. Pemerintah daerah sudah sepatutnya memberikan izin kepada bacapres untuk menggelar safari politik sepanjang digelar di area yang memenuhi persyaratan.
Kemudian ketika ada spanduk bernada provokatif, sudah seharusnya pemerintah daerah mengantisipasi dengan cepat. Lagi-lagi ini bukan semata urusan orang per orang, melainkan ada cita-cita besar yang harus diperjuangkan demi cerahnya masa depan Indonesia. Demokrasi harus dimenangkan!