HASRAT cawe-cawe Presiden Joko Widodo dalam kontestasi demokrasi bukan hanya akan berdampak secara moral dan psikologi politik pada rakyat sebagai pemilih. Namun, yang paling dikhawatirkan ialah ketidaknetralan tersebut bakal diikuti oleh perangkat dan struktur negara serta pemerintahan di bawahnya.
Sangat disayangkan seorang presiden mengumbar syahwatnya untuk turut campur dalam proses pencapresan dalam sebuah pernyataan eksplisit, terbuka dan tanpa tedeng aling-aling, saat jamuan makan bersama pemimpin redaksi sejumlah media massa dan content creator di Istana Negara, Senin (29/5) sore. Padahal, sebelumnya Jokowi membantah cawe-cawe dalam proses pencapresan.
Meskipun membantah, gerak dan manuver politik Jokowi seperti bertemu relawan dan menghadiri deklarasi calon presiden menegaskan kentalnya dukungan yang ingin ditunjukkan olehnya terhadap kandidat ataupun kekuatan politik tertentu.
Sikap inilah yang bisa memunculkan tafsir-tafsir beragam dari perangkat-perangkat negara di bawah kepemimpinannya saat ini. Tentu rakyat tidak ingin ada perangkat pemerintahan dan negara yang menafsirkan harus ikut cawe-cawe untuk menyukseskan kandidat jagoan Presiden.
Semestinya Presiden paham bahwa negara kita ini sedang krisis good governance dan clean government sehingga kalau dia berpihak kepada kekuatan tertentu dan itu terlihat, dikhawatirkan nanti itu akan ditiru struktur bawahnya.
Jangan sampai karena ucapan Presiden Jokowi ini terjadi upaya penjegalan, muncul kriminalisasi, dan perlakuan tidak fair terhadap kandidat yang tidak didukungnya. Pun, potensi terjadinya kecurangan. Semua itu adalah kekhawatiran yang muncul akibat pernyataan tidak netral dan akan cawe-cawe.
Karena itulah, Presiden perlu secara langsung menyampaikan kepada publik klarifikasi perihal cawe-cawe tersebut. Apa maksud dan makna pernyataan cawe-cawe Presiden tersebut. Tidak cukup rasanya mengklarifikasi hanya lewat para menteri dan perangkat Istana.
Jangan sampai diamnya Presiden dimaknai mengiyakan atas adanya upaya intervensi dalam pencapresan. Jika dibiarkan, tentu demokrasi yang telah berpuluh tahun dibangun akan berantakan akibat transisi kepemimpinan yang penuh intervensi, mengangkangi konstitusi.
Sejak negeri ini memilih jalan demokrasi sebagaimana amanat konstitusi, setiap pelaksanaan pemilihan umum menjadi instrumen regenerasi kepemimpinan, termasuk presiden dan wakil presiden, untuk mengemban amanah dalam periode lima tahunan.
Rakyatlah yang bakal memilih dan menentukan, partai politik yang menyediakan para kandidatnya, dan negara yang harus memastikan pelaksanaan pemilihannya berjalan lancar, serta jujur dan adil.
Haram hukumnya bagi negara bertindak di luar koridor menjamin penyelenggaraan pemilu. Presiden sebagai kepala negara sejatinya menjadi garansi pelaksanaan pemilu berjalan sesuai rel konstitusi dengan memperlakukan setara dan adil para kandidat pesta demokrasi.
Namun, sayang, Jokowi lebih memilih menunjukkan dirinya tidak berdiri di tengah. Tidak memosisikan sebagai negarawan yang siap untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada siapa pun pilihan rakyat. Jokowi seperti belum tuntas dalam dua periode kepemimpinannya.
Kalaupun memang Jokowi merasa belum tuntas atas periode pemerintahannya, lebih baik ikut saja lagi berkompetisi. Toh, konstitusi masih memberikan kesempatan bagi Jokowi untuk ikut kontestasi, tentunya sebagai calon wakil presiden.
Menjadi kandidat cawapres tentu akan lebih fair. Tidak hanya bagi kandidat lain, tetapi juga bagi rakyat sebagai pemilih. Artinya, manuver politiknya akan transparan, terikat dengan semua aturan pemilu, diawasi sebagai peserta pemilu.
Jangan cawe-cawe dari balik layar, jangan ada intervensi melalui invisible hand.