Izin Sesat Ekspor Pasir Laut



Views : 1334 - 31 May 2023, 05:00 WIB
img

PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut harus dibatalkan. PP yang diterbitkan 15 Mei 2023 itu bukan hanya tidak memedulikan kerusakan lingkungan, tapi juga jelas-jelas demi kepentingan luar negeri.

Itu sangat terlihat dari poin D ayat 2 Pasal 9 PP tersebut, yang mencantumkan izin ekspor. Poin itu berarti mencabut pelarangan total ekspor pasir laut yang berlaku sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Embel-embel ‘selama kebutuhan dalam negeri terpenuhi’ pada poin D itu sama sekali tidak menyamarkan tujuan utama kepentingan ekspor. Sebab, selama ini, berbagai megaproyek reklamasi di dalam negeri, termasuk di Makassar, terus berlanjut. Kalaupun ada kendala, kerap bukan karena pasokan pasir, melainkan protes masyarakat dan organisasi lingkungan.

Kuatnya kepentingan luar negeri di balik izin ekspor pasir laut pun mudah kita tangkap dari dinamika yang terjadi di negara tetangga sejak 2019. Mulai tahun itu, Singapura sebagai negara pengimpor pasir laut terbesar di dunia mulai kelimpungan karena Malaysia berhenti mengirim pasir.

Padahal sejak Indonesia menerapkan pelarangan ekspor pasir laut, Malaysia menjadi tumpuan Singapura yang kini tengah dalam tahap tiga megaproyek reklamasi untuk Pelabuhan Tuas. Tahun lalu, perjanjian ekstradisi yang mandek sejak 2007 akhirnya sah ditandatangani Singapura dan Indonesia.

Kita patut curiga bahwa dibukanya kembali ekspor pasir laut merupakan bagian dari timbal balik kesepakatan luar negeri itu. Aroma busuk dari PP 26/2023 juga makin kuat dengan adanya rumor empat perusahaan besar yang berkomplot dengan politisi untuk mengegolkan aturan baru ini.

Di sisi lain, penjelasan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun penuh kejanggalan. Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik KKP Wahyu Muryadi mengatakan PP tersebut demi kesehatan laut, juga daripada negara dirugikan akibat pasir atau sedimen tersebut dicuri pihak lain.

Kedua alasan itu sangat mudah terbantahkan. Pertama, berbagai proyek penambangan pasir, baik sebelum 2003 maupun yang terkini, sama-sama membuat kerusakan lingkungan, baik pada terumbu maupun peningkatan risiko abrasi. Dengan kata lain, dalam 20 tahun ini perkembangan teknologi pengerukan pasir atau sedimen tidak terbukti lebih ramah lingkungan.

Alasan kedua pun jelas lebih konyol. Sebab, sangatlah lucu jika pencegahan pencurian bukan dilakukan dengan peningkatan patroli laut, melainkan justru lebih dulu merusak ekosistem ketimbang menangkap para maling pasir.

Dengan begitu saratnya polemik dari PP 26/2023 ini, jelas Presiden Jokowi harus membatalkan aturan yang ditandatanganinya tersebut. Presiden akan mewariskan petaka lingkungan yang panjang jika terus memberlakukan PP tersebut.

Kelestarian laut bukan hanya penting bagi hajat hidup jutaan masyarakat pesisir, tapi juga seluruh rakyat negeri ini. Ketika krisis iklim semakin nyata dan berbagai sumber pangan menyusut, lautlah yang menjadi tumpuan keselamatan warga dunia.

Laut dengan padang lamunnya menjadi penyerap karbon yang besar. Laut dengan terumbu karangnya pun menjadi sumber makanan untuk berbagai jenis spesies ikan yang selanjutnya menjadi sumber penting pangan dunia.

Indonesia sebagai negara maritim yang pulau-pulaunya juga terancam tenggelam semestinya menjadi yang terdepan dalam menjaga kelestarian laut.

BACA JUGA