KITA harus mampu mengembalikan makna primer dari pemilihan umum, baik itu pemilu presiden maupun pemilu legislatif. Pemilu sebagai pesta demokrasi merupakan kesepakatan bersama untuk membatasi kekuasaan dan membiarkan terjadinya sirkulasi elite.
Karena merupakan sebuah kesepakatan bersama, sangatlah galib semua pihak tunduk dan taat. Jangan mencederai, apalagi sampai memainkan kampanye hitam hanya karena ada pihak yang alergi kekuasaannya berganti. Aturan serupa juga berlaku bagi kubu sebaliknya.
Itulah yang baru-baru ini disuarakan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama selaku dua organisasi Islam besar di Indonesia. Dua pemegang saham terbesar di Republik ini risau manakala pemilu yang seharusnya riang gembira malah menimbulkan perpecahan.
Tentunya setiap pihak yang diingatkan tidak boleh mendengar suara kebenaran ini dengan panas hati. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama murni sedang menyuarakan keberpihakan moral, mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan keadilan dalam proses politik di Indonesia.
Bila seluruh peserta pemilu mendengarkan dan menjalankan seruan ini, kebaikan akan hadir untuk Indonesia. Potensi gesekan terminimalisasi karena yang terjadi ialah adu konsep dan adu gagasan, bukan adu fitnah apalagi berlomba dalam mengumbar keburukan.
Adu gagasan akan melahirkan kesempatan kepada pemilih untuk memahami rencana konkret yang akan dilaksanakan oleh para calon pemimpin dan para calon wakil rakyat. Setiap kandidat terdorong untuk berkompetisi dalam menciptakan solusi terbaik bagi masyarakat.
Tidak hanya itu, adu gagasan ataupun persaingan ide-ide mau tidak mau akan membuat kandidat dan partai politik peserta pemilu harus mempertanggungjawabkan gagasan yang telah mereka janjikan kepada publik.
Di titik inilah rakyat mendapat tempat yang mulia. Mereka diposisikan sebagai tuan yang bisa menuntut para caleg ketika akhirnya terpilih duduk di kursi parlemen. Rakyat juga bisa menegur seorang presiden jika tidak bekerja di atas rel konstitusi.
Tanpa adanya persaingan ide yang memadai, rakyat sebagai calon pemilih menjadi buta tentang kandidat dan platform politik mereka. Dampaknya justru buruk karena dapat mengurangi partisipasi pemilih untuk berbondong-bondong ke bilik suara.
Tanpa adu konsep dan adu gagasan, masyarakat memiliki sedikit alternatif atau bahkan tidak ada sama sekali calon yang layak untuk dipilih. Kualitas demokrasi tentu menjadi turun dan cita-cita menjadi bangsa besar sulit diwujudkan.
Oleh karena itu, kita sangat mengapresiasi seruan moral dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Diharapkan, konflik, ketegangan, ataupun kekerasan yang mungkin terjadi selama kontestasi Pemilu 2024 dapat dicegah dan diminimalisasi.
Sudah saatnya semua pihak yang terlibat dalam pemilihan menghindari politik identitas, mematuhi aturan demokrasi, dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu ataupun kelompok.
Jauhi godaan untuk menggunakan buzzer-buzzer bayaran perusak perdamaian. Berhasrat untuk menang tentu tidak dilarang, tapi pantang kalau sampai merusak persaudaraan. Saatnya elite politik mengedepankan moralitas, menjauhkan polarisasi, juga menyajikan keteladanan dan visi kebangsaan.
Kalau seruan moral ini tidak juga didengarkan, para pemilih haruslah bertindak cerdas. Tandai mereka lalu masukkan ke kotak eliminasi. Bangsa ini terlalu hina bila wakil rakyat dan pemimpinnya kelak lahir dari rahim yang kotor. Indonesia tidak punya tempat untuk para bajingan.