Titik Balik Sepak Bola Indonesia



Views : 1958 - 31 March 2023, 05:00 WIB
img

SULIT untuk tidak mengatakan bahwa politik dan olahraga saling berkait erat. Sama halnya dengan sektor ekonomi ataupun sosial, olahraga juga butuh bersentuhan dengan politik. Tanpa campur tangan politik, bagaimana olahraga nasional dapat berakselerasi dan mendapatkan anggaran, misalnya. Itu salah satu contohnya.

Namun, dalam konteks politik keolahragaan itu, idealnya ialah bagaimana politik digunakan, dimaksimalkan untuk memajukan olahraga. Bukan sebaliknya, olahraga malah dimanfaatkan para petualang politik. Olahraga dijadikan komoditas demi memenuhi syahwat politik suatu kelompok. Kalau itu yang terjadi, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari olahraga selain kekecewaan demi kekecewaan.

Hari-hari ini kita baru saja dipertontonkan contoh yang teramat gamblang terkait dengan politik keolahragaan yang sesat jalan di cabang sepak bola. Politik yang seharusnya diberdayakan untuk menyelesaikan masalah, pada akhirnya malah memunculkan masalah baru yang lebih pelik.

Dalam isu keikutsertaan tim Israel pada gelaran Piala Dunia U-20 2023 yang sedianya dihelat di Indonesia Mei-Juni, mendatang, harus diakui politik dan sepak bola telah dicampuradukkan dengan ngawurserampangan, dan tanpa perhitungan. Akibatnya fatal, FIFA akhirnya secara resmi membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara Piala Dunia U-20 2023. Final, tidak ada tawar-menawar.

Lalu apa yang Indonesia bisa perbuat? Tidak ada kecuali menerima 'hukuman' itu meski dengan rasa sedih, sesal, jengkel, bahkan marah. Kita mesti akui, inilah buah dari terlalu kekanak-kanakannya politik dalam negeri ketika memahami politik diplomasi melalui olahraga yang menjunjung teguh prinsip keseteraan, fair play , dan antidiskriminasi.

Selanjutnya, kita mesti introspeksi, evaluasi, dan menjadikan ini sebagai pelajaran sangat berharga. Tidak hanya buat para elite sepak bola yang gagal menjaga muruah sepak bola dari tangan-tangan berlumur kepentingan. Yang lebih penting, ini ialah pelajaran paling mahal untuk elite-elite politik yang kemarin tiba-tiba saja muncul bak pahlawan kesiangan, seolah-olah menjadi kelompok pembela kemerdekaan bangsa Palestina terdepan.

Sepahit apa pun, kiranya momentum ini harus dijadikan titik balik untuk memperbaiki persepakbolaan nasional pada semua lininya. Ketimbang berpanjang-panjang merutuki keputusan FIFA, bahkan menganggap itu sebagai mimpi buruk, sejak hari ini semestinya sepak bola Indonesia move on  dan mulai looking forward.

PSSI juga tak perlu berlama-lama membungkus isu tersebut dalam drama-drama cengeng demi menarik simpati publik. Percayalah, simpati tidak akan datang dengan cara-cara itu. Simpati akan muncul dengan sendirinya kalau federasi mampu dengan cepat membenahi iklim sepak bola nasional yang sudah sedemikian amburadul saat ini.

Fokus pengurus PSSI yang sebelumnya lebih banyak tercurah untuk penyelenggaraan Piala Dunia U-20, kini sepatutnya bisa dialihkan untuk agenda-agenda lain yang tak kalah penting. Sebutlah dua di antaranya, yaitu pembenahan liga pascatragedi Kanjuruhan serta peningkatan prestasi tim nasional sepak bola.

Hari ini, mimpi kita menjadi tuan rumah turnamen sepak bola sekelas Piala Dunia junior sekaligus mimpi anak-anak muda Indonesia berlaga di pentas sepak bola dunia, boleh saja pupus. Karena itu, demi masa depan kita mesti mengubah mimpi.

Bukan sekadar menjadi tuan rumah Piala Dunia, yang boleh jadi bakal terus direcoki politik dan petualang-petualangnya. Jauh lebih keren bila mimpi bangsa ini ialah meloloskan tim nasional Garuda ke perhelatan sepak bola sekelas Piala Dunia lewat jalur prestasi. Untuk sampai ke situ, tidak bisa tidak, harus ada perbaikan total terhadap sepak bola Indonesia.

 

BACA JUGA