Macan Ompong Penuntasan Kasus HAM Berat



Views : 4362 - 22 September 2022, 05:00 WIB
img

 

MESKI dipertanyakan, keberadaan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) terus berlanjut. Dibentuk melalui Keppres Nomor 17/2022 tentang Pembentukan PPHAM, tim tersebut memiliki dua susunan, yakni tim pengarah dan tim pelaksana.

Tim pengarah terdiri atas para menteri, susunan tim pelaksana resmi diumumkan kemarin. Presiden Joko Widodo menempatkan sosok-sosok berpengalaman. Sebut saja mantan Ketua Komnas HAM – Ifdhal Kasim, mantan Ketua KY Suparman Marzuki, ahli hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo, serta akademisi Komaruddin Hidayat dan Akhmad Muzakki. Mereka diketuai diplomat senior yang juga penasihat Komnas HAM, Makarim Wibisono.

Sederet nama itu sekilas menjadikan Tim Pelaksana PPHAM bak dream team. Namun, layaknya di pertandingan, tim bintang sekalipun akan miskin gol jika tidak dimainkan dengan tepat.

Kesangsian ini pula yang membayangi PPHAM karena kelahirannya yang tanpa landasan UU. Dalam UU 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM, mekanisme penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui jalan nonyudisial, mensyaratkan adanya UU payung, yakni UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hingga kini RUU komisi tersebut masih dalam pembahasan di Kemenkum dan HAM.

Tidak hanya itu, penyelesaian nonyudisial semestinya melewati sejumlah tahapan. Pertama, adanya pengungkapan kebenaran oleh komisi atau tim yang dibentuk. Kemudian, jika ditemukan adanya keterlibatan lembaga negara, harus dilakukan reformasi institusional.

Setelahnya, barulah ajudikasi atau cara penyelesaian perkara di luar pengadilan berdasarkan keinginan para pihak tanpa adanya paksaan. Terakhir, ialah pemulihan bagi para korban dan keluarga korban. Keempat tahapan itu harus dilakukan berurutan.

Selama ini, penyelidikan berbagai kasus HAM telah dilakukan Komnas HAM. Namun, berkas penyelidikan bolak-balik dikembalikan Kejagung.

Akibatnya, ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang mandek, termasuk kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Talangsari, hingga Wasior 2001 - 2002. Kejagung memberikan berbagai alasan atas penolakan berkas, termasuk soal penyelidik yang tidak disumpah. Satu-satunya kasus yang masuk ke peradilan ialah kasus Paniai 2014.

Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan kebuntuan yuridis antara Kejagung dan Komnas HAM itulah yang diharapkan diselesaikan dengan PPHAM. Meski terdengar berpihak pada para korban, penyelesaian lewat PPHAM menyiratkan jalan pintas yang ingin ditempuh.

Berkaca pada kasus Paniai yang akhirnya dapat mulai disidangkan di PN Makassar, kemarin, jelas bahwa penyelesaian yudisial memungkinkan. Betul bahwa berkas tuntutan kasus itu pun masih banyak kelemahan di mata pengamat, termasuk sisi pengungkapan keterlibatan institusi. Kelemahan inilah yang, ke depan, semestinya diperbaiki jaksa sebagai penyidik.

Pemaksaan jalan pintas melalui PPHAM justru menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mendorong proses yudisial. Kalaupun Presiden tetap berkeras menjalankan PPHAM, mekanisme itu tidak boleh menutup proses persidangan di masa mendatang.

Negara tidak boleh memberikan amnesti kepada para pelanggar HAM. Begitu juga keadilan bukan berarti sudah ditegakkan meski Negara memberikan pemulihan, apa pun bentuknya, kepada korban dan keluarganya.

Terlebih, kita pun sudah belajar dari sejumlah wacana terkait HAM berat yang dibuat pemerintah selama ini. Wacana tersebut akhirnya menguap karena tidak mendorong keadilan yang diharapkan.

BACA JUGA