Pemimpin Tepat untuk Transisi Jakarta



Views : 3992 - 14 September 2022, 05:00 WIB
img

 

DENGAN atau tanpa status ibu kota negara, Jakarta tetaplah megapolitan dengan pengaruh sangat besar. Jakarta bukan hanya darah bagi wilayah penyangganya, melainkan juga energi hingga ke seluruh pelosok Nusantara.

Banyak kajian menyebutkan pemindahan ibu kota negara hanya berimbas 3%-5% bagi perekonomian Jakarta. Di sisi lain, persoalan lingkungan kota berusia hampir 5 abad ini diperkirakan hanya berkurang 10%.

Maka, Jakarta jelas akan terus berkembang, baik pesona maupun boroknya. Oleh karena itu, menyiapkan masa purna status ibu kota negara sesungguhnya sudah harus dimulai sejak jauh hari. Hal ini tidak hanya memengaruhi nasib 10,61 juta jiwa penduduknya, tetapi juga puluhan juta jiwa lainnya di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Pekerjaan itulah yang harus dipastikan berlanjut di masa kosongnya jabatan Gubernur DKI Jakarta seusai berakhirnya kepemimpinan Anies Baswedan pada 16 Oktober hingga Pilkada 2024. Sejumlah pekerjaan rumah mendesak diselesaikan. Pemimpin di masa sebelum pemilu itu kian penting untuk menjaga stabilitas dan netralitas dalam pesta besar demokrasi pilkada maupun pilpres.

Kini, pertanyaan besarnya, siapakah di antara ketiga nama kandidat Penjabat Gubernur Jakarta yang diusulkan DPRD DKI yang bisa menjawab seluruh tugas berat itu? Kemarin, DPRD sepakat mengajukan tiga nama calon Penjabat Gubernur DKI Jakarta kepada Kemendagri. Mereka ialah Kepala Sekretariat Kepresidenan Heru Budi Hartono, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Marullah Matali, dan Dirjen Politik Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar.

Secara politis, dua nama pertama sama kuatnya karena diusulkan oleh seluruh fraksi. Adapun nama ketiga merupakan usul dari enam fraksi. Dalam sisi rekam jejak, Heru dan Marullah memiliki nilai sama karena mereka berpengalaman mengabdi di Pemprov DKI Jakarta.

Heru mengawali kariernya di pemprov pada 1993 sebagai stafsus Wali Kota Jakarta Utara hingga kemudian menduduki jabatan teratas di wilayah itu pada 2014. Ia sempat digandeng Ahok untuk maju sebagai bakal calon wagub di Pilkada 2017 sebelum akhirnya Ahok menjatuhkan pilihan kepada Djarot Syaiful Hidayat.

Soal gebrakan, Heru pernah mengusulkan larangan penggunaan kendaraan pribadi yang kemudian melahirkan instruksi penggunaan kendaraan umum bagi pejabat Pemprov DKI Jakarta di masa kepemimpinan Jokowi pada 2013.

Sementara itu, Marullah telah 15 tahun menjadi PNS di Pemprov DKI dan pada 2018 menjabat Wali Kota Jaksel. Kariernya juga dapat dikatakan minim kontroversi.

Rekam jejak dan pengalaman menangani Ibu Kota tentu menjadi nilai plus. Begitu pun integritas dan netralitas, sama-sama tidak dapat disepelekan. Hal itulah yang mestinya menjadi poin menentukan untuk memilih Penjabat Gubernur DKI.

Terkait poin itu, kedua sosok yang diunggulkan sama-sama memiliki kedekatan dengan peserta pemilu, dalam arti partai maupun individu. Kualitas netralitas ini harus diuji oleh Tim Penilai Akhir yang terdiri atas para menteri dan sejumlah kepala lembaga negara. Tim inilah yang nantinya menyampaikan hasil penilaian mereka kepada Presiden untuk selanjutnya menetapkan penjabat gubernur.

Tim Penilai Akhir harus dapat menjawab harapan masyarakat terkait sosok pemimpin berkualitas di DKI Jakarta meskipun hanya dalam masa peralihan. Penjabat Gubernur DKI Jakarta harus dapat menyelesaikan pekerjaan rumah mendesak termasuk banjir dan polusi, sekaligus menjamin situasi yang kondusif untuk berlangsungnya pesta demokrasi.

BACA JUGA